BaL! | Perkembangan

27.3K 3.9K 260
                                    

Dulu, sekitar satu bulan tiga minggu lalu sebelum aku mengenal Farhan, hal romantis bagiku adalah; bergandengan tangan di area cinema, berdua di mobil sepulang makan, atau belanja kebutuhanku ditemani pasangan. Namun, kini, bahkan sekadar makan di luar saja, kami harus mengatur waktu sedemikan rupa (ini jelas yang sok sibuk adalah si Afriandi itu) atau kalau enggak ya dia yang tiba-tiba datang ke rumahku. Membawa beberapa makanan.

Seperti sekarang, si Afriandi ini sedang duduk di sofa seberangku, memandangi beberapa contoh undangan begitu serius. Kayak baca laporan kerja aja. Dia bahkan nggak ngomong apapun sejak sepuluh menit. Aku menghitungnya, ya.

Kedatangannya di Minggu siang ini jelas karena aku meminta keterlibatan dirinya untuk menetukan jenis undangan yang akan kami buat. Karena kalau hanya mengandalkan diriku, semua pasti tak membutuhkan waktu lama; aku akan meminta undangan dengan warna terang.

"Mas."

"Hm."

Gusti, aku jadi penasaran eskpresi saat dia bekerja akan bagaimana jika dalam hal sesantai ini saja dia begitu serius? Katanya, lelaki kebanyakan tercipta oleh sebagian besar logika, perempuan dengan perasaan. Apa itu menjadi alasan kalau dia nggak menggunakan hatinya saat ini agar sedikit terlihat lebih santai? Logika membuat dia terus berpikir serius, begitu?

Kok aku agak nggak yakin.

"Kamu kenapa mau nikah sama aku?"

"Kenapa harus nggak mau? Kamu udah berumur," jawabnya, masih sambil membolak-balik contoh undangan bewarna gold dan abu-abu itu.

"Aku belum tua! Nggak ada alasan karena kamu suka aku gitu? Cinta?"

Seketika kepalanya langsung mendengak. Ia diam beberapa jenak, sebelum bertanya, "Kamu percaya kalau aku bilang cinta bahkan pertemuan kita masih bisa dihitung jari?"

"Oke."

"Aku suka kamu. Nanti, cinta pasti datang."

"Oke."

Kedua alisnya berkerut, hampir menyatu membentuk satu garis tebal. Wow. Apa dia baru saja menghasilkan satu ekspresi bingung atau ... jenis apa itu? "Kamu kenapa?"

"Apanya?" Kini aku yang dibuat bingung.

"Kok cuma jawab 'oke'?"

"Emangnya harus gimana?"

"Biasanya kamu jawab panjang."

Cepat saja, bibirku mengulum senyum. Ini baru untuk diriku, ada seseorang yang memperhatikan hal sekecil itu dan jelas, rasanya membahagiakan. Seperti remaja ketika ditanya gebetan 'sudah makan belum?' atau 'Gimana harimu?' dan pertanyaan-pertanyaan bullshit lainnya.

"Angesti, kamu jangan marah kalau aku bilang belum cinta kamu. Karena aku yakin, yang kamu rasakan sekarang itu juga baru sekadar ketertarikan dan keyakinanmu buat pilih aku." Sebentar, sebentar! Izinkan aku mengeluarkan kalkulator untuk menghitung jumlah kata yang sudah ia paparkan. "Dan, satu-satunya alasan kenapa aku menerima semua ini karena memang nggak ada alasan aku harus nggak mau."

"Ya kenapa mau aku? Kamu bisa aja, kan pilih satu dari sekian banyak perempuan yang udah kamu kenal?" Aku sekarang mulai mendapatkan clue untuk membuat dia mau mengeluarkan banyak kata.

"Mereka nggak ada yang berani kayak kamu."

"Berani kayak aku?"

Kepalanya mengangguk. "Awalnya aku kaget, kamu seberani itu minta status sama lelaki yang baru beberapa minggu kenal."

"Terus?"

"Tapi, seminggu itu aku memikirkan ulang, semuanya. Dan, temanku dulu menikah hanya setelah mengenal dalam waktu dua minggu. Sekarang tinggal di Thailand. Adalagi yang menerima perjodohan bahkan belum sempat kenalan. Sekarang mereka tinggal di Malaysia." Farhan sebetulnya tidak sekaku yang kupikir, Farhan sebenarnya banyak menyimpan kosa kata. Namun, kenapa selama ini dia hanya banyak diam? "Jadi, kesimpulanku adalah bukan karena seberapa lama kita saling kenal, tapi seberapa yakin kita bisa kerja sama dalam pernikahan untuk ke depannya nanti. Dan, kupikir kamu patner yang kredibel."

Break a Leg! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang