16# Erland

29 3 8
                                    

Sejenak gue termenung. Mungkin semua yang mengenal dia dengan baik juga akan berpikiran sama dengan gue. Bagaimana bisa gadis itu pergi secepat ini dan dengan cara yang sangat tragis.

Gue kembali memandangi Tante Rackel yang masih terbaring lemah di ranjang Tata sembari memeluk sebuah figura foto Tata yang tersenyum lebar. Air matanya seolah tak ingin berhenti mengalir. Bahkan sejak tadi pagi, beberapa kali beliau sempat kehilangan kesadarannya, tak sanggup menahan sesak yang timbul setelah berita tak terduga itu datang.

"Jio, ayo kita pulang" gue menoleh kepada Mama yang datang menghampiri gue. Gue sendiri tak tahu sudah berapa lama berdiri di ambang pintu kamar Tata ini. Mama mengusap-usap lengan kiri gue seolah berusaha memberikan kekuatan. Mama yang tahu betul bagaimana perasaan gue terhadap gadis itu. Bahkan selama ini beliau yang berusaha menyadarkan perasaan yang selalu ingin gue sangkal. 

Gue yakin keadaan Mama sesungguhnya tak jauh berbeda dengan gue. Kita masih sama-sama terpukul. Meski wajahnya kini sedikit memperlihatkan senyum yang dipaksakan. Gue tahu itu untuk menghibur kami yang masih terpuruk dengan keadaan. 

"Ayo?" ajak mama sekali lagi sembari menarik pelan lengan kiri gue. Dengan terpaksa gue pun akhirnya ikut berjalan di sebelah mama. Beberapa kali langkah gue terasa berat saat melewati beberapa tempat yang sering gue dan Tata jadikan tempat bermain, bertengkar, dan bercanda. Salah satunya sofa di ruang keluarga.

Tangan gue pun terangkat untuk meraba sebuah sofa panjang.  Sofa yang beberapa hari lalu diduduki Tata dan gue.  Kami yang awalnya saling canggung kembali akrab karena gue tahu Tata nggak akan pernah tega menelantarkan gue yang tengah sakit. Bahkan ingatan itu masih terasa hangat,  bagaimana manjanya gue saat itu, juga belaian tangan Tata di kepala gue,  seolah semua baru kemarin terjadi. Tapi kini...

"Terima kasih,  Ian"

Gue menoleh kepada Om Reki dan lawan bicaranya.  Tiba-tiba rahang gue mengeras,  gigi-gigi gue seakan saling beradu kekuatan, darah gue serasa mendidih, dan kedua tangan gue menggepal di samping tubuh gue.

"Jio... " gue menoleh ke sebelah kiri gue dan terlihat Mama memandang gue aneh. "Kamu kenapa? Pak Yanuar mau pamit pulang nih"

Gue pun menatap seseorang yang tengah berdiri di hadapan gue. Amarah gue kembali naik seketika mengingat perkataan yang dulu pernah dia ucapkan mengenai Tata. Dan gue tahu sejak itu rasa hormat gue perlahan pudar terhadapnya.  Dan sekarang rasa itu semakin terselimuti oleh penyesalan gue yang tidak akan pernah bisa gue perbaiki karena seseorang itu telah pergi terlampau jauh untuk gue jangkau.

"Saya tahu kamu teman dekat Tata.  Saya harap kamu bisa bersabar dan ikhlas dengan kepergian Tata" Tangannya terangkat,  meminta gue untuk menjabatnya.

"Saya juga ingin meminta maaf sama kamu. Saya tahu saya bersalah... "

Gue tepis tangannya dengan kasar lalu berjalan cepat ingin menjauh saja,  menjauh agar gue tidak harus melihat dan mendengar suaranya. Gue bahkan tak menghiraukan panggilan Mama yang meminta gue kembali. Semua mungkin akan tersentuh mendengar setiap dia berbicara tapi tidak gue.  Gue bahkan tidak tahu sampai kapan rasa benci bercampur rasa bersalah ini akan terus menghantui gue karena kebodohan gue yang bisa-bisanya dengan mudah terprovokasi oleh ucapan manisnya dulu.

*** ***

Gue memilih duduk di atas ayunan besi di sebelah rumah Tata. Bermenung sendiri di sini mungkin adalah hal yang paling tepat. Tak ayal mata gue menatap bangku ayunan yang kosong di depan gue. Biasanya ada dia di sana, tak henti berceloteh apapun hanya sekedar untuk mendapatkan perhatian gue. Tapi sekarang gue sendirian.

Tiba-tiba ingatan itu muncul.

"Loe jangan terus mengharap, Ta. Kalau loe mau, loe berusaha perjuangin. Urusan nanti loe sama dia atau nggak serahin sama takdir. Dan loe juga jangan terus tergantung dengan pemikiran orang lain. Percaya sama diri loe sendiri. Apa loe pernah utarain perasaan loe?"

CEBO 'Can You Feel Me'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang