Chapter 8
Why Are You?- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
"Serius amat, Nat."
Nata langsung mendongak. Matanya bulat membesar kaget. Mulutnya pun terbuka membentuk 'O'. Beberapa detik jantungnya berdetak hebat.
Detik kemudian Nata langsung menutup bindernya dengan kasar. Dia seolah takut kalau ada orang yang mengetahui apa yang sedang digambarnya. Kemudian Nata bergegas menyimpan bindernya di dalam tasnya.
Ani bingung dengan sikap Nata yang seolah takut dengan kehadirannya di sini.
"Lo kenapa, Nat?"
"Gak! Gak ada! Hehe," kekehannya terdengar canggung dan takut. "Lo kenapa ke ruangan BP?" Nata mengalihkan pembicaraan.
"Oh itu," Ani mengambil kursi yang berada di sebelah Nata kemudian menggesernya mendekat ke arah Nata. "Konseling gitu. Bergiliran."
"Ah!" Nata mengangguk mengerti.
"Ohya, katanya lo tadi ngelawan Vanda pas di kantin,"
"Siapa bilang?" Tanya Nata.
"Gosip di sini lumayan cepet, apalagi tentang Vanda." Mulut Nata membentuk 'O' dan dia mengangguk mengerti. "Jadi itu bener?"
"Habisnya kesel gue sama tuh orang. Gue lagi jalan di belakang dia, kebetulan aja kita itu searah. Eh dia malah nuduh gue ngikutin dia. Pede gila!" Ana tertawa melihat ekspresi Nata. Nata kalau lagi kesel kayak gini terlihat lucu aja menurut Ana. "Ye malah ketawa."
"Trus trus?" Tanya nya masih dengan ketawa.
"Udah lah berisik banget suara mereka. Nyaring! Kuping gue kek mau copot tau!"
"Biasa lah bocah sok kecantikan emang gitu, Nat." Ana terkekeh. "Asal lo tau aja, satu sekolahan mah kebanyakan takut sama gengnya Vanda." Ujar Ana santai menatap lurus kedepan. "Kecuali gue."
"Dih ngapain takut sama tu bocah! Emang ini sekolah punya nenek moyang dia kali!" Balas Nata jutek. Dia sudah terlanjur kesal dengan perlakuan Vanda dan temannya tadi siang. Mau marah-marah juga tidak ada guna. Jadilah dia bersikap jutek seperti ini.
"Sayangnya dia cucu kepala sekolah."
"Baru cucu, bukan dia nya jadi kepala sekolah kan? Ngapain takut." Nata tertawa sinis.
"Tapi lo hati-hati aja sama Vanda dan teman-temannya itu." Nata melirik Ana, dia mulai tertarik dengan pembicaraan Ana. "Lo bisa aja di jailin mereka. Bahkan mereka bakalan tega buat lo sampai keluar dari sekolah ini."
"Selama gue gak berbuat di luar batas, gue gak bakal di keluarin dari sekolah." Nata tersenyum melihat Ana. "Jangan khawatir! Gue itu termasuk anak baik kok." Sederetan gigi putih Nata terlihat. Ana pun ikut tersenyum.
🌙
Dihari pertama Nata sekolah ini, dia harus pulang berjalan kaki bersama Ana. Tidak ada pilihan lain. Ana tidak membawa sepeda dan tidak ada yang menjemput Nata. Santi sibuk dengan kuliahnya, jadi Santi tidak bisa menjemputnya.
Dalam perjalanan pulang, Ana membawa Nata ke sungai. Dia bermain air di pinggir sungai. Ana berniat mengembalikan memori Nata yang hilang itu, walaupun itu tidak akan mempan.
Nata terlihat ceria sekali bermain bersama Ana. Begitu pun dengan Ana. Banyak tawa yang di berikan Nata hari ini. Hatinya yang sedikit kesal berkat geng Vanda di sekolah tadi bisa tersapu akibat bermain ini. Nata sedikit melupakan kejadian di sekolah tadi. Bagaimana Alvin mengacuhkannya, itu terasa menyakitkan. Namun Nata tidak tahu mengapa itu menyakitkan.
Setelah dari sungai, Ana membawa Nata kembali ke kebun teh. Ini atas permintaan Nata sendiri. Dia ingin berfoto-foto di kebun teh. Pasti itu akan menjadi foto yang bagus. Pemandangan yang indah dan cuaca yang tidak mendung dan tidak panas.
"Ana, fotoin gue dong! Hehe." Nata memberikan kameranya kepada Ana dan Ana menerimanya dengan senang hati.
Nata berpose bak model. Hasil jepretan Ana pun memuaskan sekali. Senyum Nata terukir kembali.
"Makasih. Bagus, ih!"
Setelah itu mereka pun pulang. Ana berjalan mendahului Nata, sedangkan Nata sibuk melihat hasil jepretan Ana di belakang.
"Ana!"
"Apa?"
Jepret!
"Ih, kalo mau ngambil foto gue tu bilang kek! Kan gue bisa berpose dulu." Ana mulai berpose.
"Tahan! Satu... Dua... Tiga..."
Jepret!
🌙
Nata berjalan memasuki perkarangan rumah. Dia melihat Alvin sedang mencuci motornya. Sekilas mereka bertatapan. Namun dengan cuek Alvin beralih. Nata yang sedikit bingung dengan sikap Alvin pun berhenti.
Dia meneliti Alvi dari luar pagar. Perasaan dia tidak pernah berbuat salah dengan Alvin. Mereka pun baru ketemu kemaren-kemaren. Sikapnya ini juga sama seperti di mimpi Nata. Ada yang gak beres ini nih!
"Vin," Nata memanggil Alvin dari luar pagar. Orang yang di panggilnya pun hanya bergumam. "Lo kok cuek sih sama gue? Gue punya salah ya?"
"Kenapa lo berpikiran kayak gitu?" Tanya Alvin tanpa melihat Nata.
"Ya sikap lo itu gak welcome aja gitu sama gue. Emang gue pernah jahatin lo ya? Atau kita dulu pernah temenan di masa lalu? Soalnya gue itu--"
"Gak pernah. Emang sikap gue kayak gini kalo sama orang baru." Jawabnya cuek. Bahkan dia saja tidak mau menatap wajah Nata.
"Lo yakin? Tapi lo itu pernah muncul di mimpi gue tempo hari. Di mimpi gue itu lo gak secuek ini dan kita berteman."
Alvin berhenti beraktifitas. Dia tersentak kaget oleh pernyataan Nata barusan.
"Itu cuman mimpi, bunga tidur lo. Mimpi itu gak nyata. Mungkin aja lo mimpi ketemu Shawn Mendes tapi seumur hidup lo sampai lo mati gak pernah ketemu Shawn? That's just your dream." Alvin kembali menyirami motornya. Sebenarnya perkataannya itu agak sedikit kejam. Tapi apa peduli dia?
"Tapi sayangnya gue ngerasa mimpi gue itu nyata."
🌙
A/n: jangan cuek-cuek, Vin. Entar doi di embat sama yang lain awekawekaweka
Hari ini pengumuman kelulusan aku. Gimana nilai kalian? Bisa dong ya masuk SMA favorite?
Ira Angraini
2 Juni 2017

KAMU SEDANG MEMBACA
Dream The Past
Teen Fiction[REVISI] [Cover by @fairygraphic] Ketika mimpi mengingatkan akan satu hal yang tidak harus aku lupakan. 🌙 Nata tiba-tiba kembali mengingat tentang masa kecilnya melalui mimpinya. Mimpi itu terus datang disaat dia sedang berlibur di rumah Neneknya...