Dilema

140 14 0
                                    

"Cinta, ada nak Reihan." ucap tante dari ruang tamu sedangkan yang di panggil masih ada di alam mimpi, setelah beberapa menit karna tak ada jawaban tante dan Reihan naik ke kamar Cinta.

"Cin, ada temenmu itu. Nak Reihan udah nunggu dari tadi loh."

"Tante nih bercanda aja, Cinta ngantuk." Cinta langsung memeluk guling dan menutup dirinya dengan selimut.

"Siapa yang bercanda?" suara Reihan terdengar membuat mata dan mulut Cinta terbuka lebar, ia langsung membuka selimut dan menyengir lebar ke arah tantenya dan Reihan.

"Maaf ya, gue semalem gue ketiduran lupa pasang alarm." ucap Cinta saat bersiap memakai helm.

"Eh bentar, kita mau piknik kemana? Piknik?" tanya Cinta saat Reihan memberikan sebuah keranjang rotan.

"Lihat nanti deh ya." Kekeh Reihan, lalu segera naik keatas motornya

"Gimana kalau nanti udah jadi istri gue? Baru calon aja udah siang bangunnya." ucap Reihan menyalakan mesin motornya sedangkan Cinta hanya cemberut, dan membuat Reihan menahan tawa sepanjang jalan.

"Cinta kemana tan?" Juna bingung karna tidak biasanya Cinta bangun sepagi ini dan pergi apalagi saat weekend.

"Pergi sama nak Reihan, baru aja" ucap tante dari dapur, perkataan itu membuat amarah Juna naik. Kalau cowok yang nakal seperti tidak bisa di hadapi dengan otot, ia akan kalah telak tapi dia bisa melawannya dengan otak.

*******

Mereka sudah sampai disebuah danau buatan yang sering disebut dengan waduk. Hari itu panas tidak begitu terik, dan sepanjang mata memandang hanya ada pepohonan lalu ditengahnya ada air yang dibendung, ada beberapa orang sedang menyiram rumput, sisanya tidak ada orang, sepi.

Reihan menggandengn tangan Cinta, mengajaknya untuk duduk dibawah pohon. "Silahkan." Dengan sigap Reihan mengeluarkan kain yang cukup besar cukup untuk mereka duduk di atas rumput siang itu dengah pohon memayungi.

"Burger, kentang goreng, roti, es teh manis, dan dua ayam goreng lengkap dengan nasi." Reihan seperti pelayan yang sedang mengulang pesanan para tamu.

"Lengkap banget?" tanya Cinta.

"Oh iya dong, spesial buat lo." Kekeh Reihan, lalu mereka mulai makan bersama.

"Dulu gue selalu berkunjung ke tempat kesukaan gue sendirian, semenjak ada lo, gue udah gak sendirian lagi nikmatin ini." Ia menunjuk pada waduk didepan mereka.

"Gue juga senang bisa temenin lo." Cinta tersenyum, kali ini pandangannya tak bisa teralihkan dari cowok dihadapannya ini.

"Walaupun gue nakal, lo gak akan jauhin gue kan?" tanya Reihan lagi.

"Engga, tapi lo juga harus berubah, hidup akan terus bergerak maju, setiap yang buruk harus kita tinggal dibelakang." Kali ini Reihan menatap Cinta balik, Cinta langsung memalingkan wajahnya menatap lurus ke depan.

"Semoga gue bisa berubah." Kekeh Reihan yang dibalas senyuman tulus Cinta.

"Pasti bisa." Cinta meyakinkan.

"Menurut gue hidup itu kayak air, selalu mengalir kemanapun ada ruang. Kita gak bisa pilih, mau dialirkan kemana kita. Semua itu udah ada takdirnya, dan kalau gue kayak gini sekarang mungkin memang takdirnya kayak gitu." Ucap Reihan ikut menatap lurus.

"Betul sih hidup itu kayak air yang terus mengalir entah kemana, tapi gue lebih suka mengibaratkan hidup itu kayak burung." Cinta tersenyum memandang banyaknya burung berterbangan siang itu.

"Kenapa?" tanya Reihan tertawa kecil.

"Ya kita bebas kemanapun, terserah kita, tapi kita punya hak untuk memilih, terbang tanpa arah terus berkelana ke seluruh bumi atau kita menetap pada satu wilayah, mempunyai tanggung jawab baik kepada kawanan kita atau keluarga. Hidup itu selalu punya dua sisi seimbang, takdir atau pilihan. Takdir itu apa yang sudah digariskan sedangkan pilihan yang kita ambil sekarang menentukan kita dikemudian hari." Cinta dengan lancar berbicara. Reihan tak berkedip menatap gadis disampingnya.

"Gue mau jadi burung kalau gitu." Tiba-tiba Cinta menoleh kea rah Reihan lalu tertawa.

"Kenapa? Biar ada dipikiran lo sekarang." Cinta terkekeh kemudian melanjutkan kegiatan makannya yang tertunda.

Obrolan mereka selanjutnya sebagian besar berbicara tentang latar belakang dan mimpi mereka dimasa depan, mulai mengenal lebih dekat satu dengan yang lainnya.

Matahari bersiap untuk tenggelam, sinarnya perlahan menghilang. Reihan mengajak Cinta berkeliling Jakarta dengan motornya. "Gimana? Suka? Berasa malam mingguan sama pacar kan?" pertanyaan Reihan membuat Cinta tersenyum, wajahnya yang merah terus menjadi pusat perhatian Reihan yang mengintipnya lewat kaca spion.

"Gue tuh anak rumahan banget, sekalinya di ajak jalan jauh norak gini deh." Cinta terkekeh melihat ke kanan dan kiri, memang om dan tantenya sangat sibuk, mereka akan berjalan-jalan jika ada waktu dan itupun jarang.

"Mampir ke rumah gue bentar ya, mau ambil baju Julian. Gue udah janji mau balikin." ucap Reihan memarkirkan motor dan menggandeng Cinta masuk.

"Kamu pasti pacarnya Reihan?" Tanya papa Reihan.

"Temen aja om." Ucap Cinta sambil menyalami papa Reihan dan kak Friska.

"Kamu cewek pertama yang Reihan bawa ke rumah ini loh." Ucap kak Friska menggoda "Ayo Cin, kita pergi." Reihan langsung menarik tangan Cinta

"Kok buru-buru Rei?" tanya papanya.

"Enek saya lama-lama dirumah Anda." ucap Reihan yang membuat Cinta menghentikan langkahnya.

"Om, kak saya pamit. Permisi." ucap Cinta sopan dan dibalas senyuman oleh keduanya "Gak perlu sopan-sopan sama mereka, gak guna." Reihan langsung naik ke motornya.

"Harusnya lo bersyukur karna masih bisa ngerasain kasih sayang orang tua walaupun cuman papa, sedangkan gue gak bisa ngerasain keduanya. Gue gak mau lo terlambat untuk itu." ucap Cinta yang sudah naik ke atas motor putih Reihan, tapi Reihan sempat terdiam mendengar gadisnya mengatakan itu mencoba meresapi setiap maknanya.

*******

Juna sudah berdiri di depan pagar rumah Cinta. "Sekarang berani pulang larut gini ya Cin? Gara-gara cowok itu?" ucap Juna yang menatap tajam Reihan.

"Bukan urusan lo" Cinta mengembalikan helm Reihan.

"Ternyata bener kata satu sekolah, dia tuh suka bawa pengaruh buruk. Sukanya cari ribut eh sekarang anak orang mau dirusak, Cin kamu udah kayak cewek gak bener." Juna memanasi Reihan.

"Lo tuh siapa berhak ngatur hidup orang, tantenya dia aja gak ngelarang dan satu lagi jaga mulut lo tentang Cinta." Reihan mulai membuka suara.

"Gak tau sopan santun banget, gak pernah diajarin apa sama orang tua lo atau mama lo gak ngerti caranya ngajarin sopan santun?" Juna semakin memancing dan kali ini berhasil.

Reihan turun dari motor dan menghajar Juna habis-habisan, Reihan paling sensitif jika membahas ibu dan sekarang cowok banci dihadapannya ini menghina ibunya. Juna tidak melawan memang ini triknya.

"Reihan udah stop, Juna bisa abis kalau lo hajar terus-terusan kayak gini" Cinta berusaha melerai tapi emosi Reihan tidak terkendalikan, Cinta meneteskan air matanya.

"Stop! Lo ternyata gak beda sama orang yang mukulin lo di arena balap." Seketika Reihan berhenti seperti dejavu ia di tarik ke hari dimana ia hampir mati. Juna tersenyum atas kemenangannya.

"Gue kira lo udah berubah jadi lebih, gue kecewa." Ucap Cinta menangis dan membopong tubuh Juna masuk ke dalam rumah.

"Juna kamu kenapa? Kok ada suara ribut-ribut?" tanya tante saat melihat keadaan di depan rumahnya.

"Aku naik, tante aku minta tolong untuk urus Juna ya." ucap Cinta lelah, matanya memerah.

"Jangan pikir tadi gue belain lo!" kata itu terucap sebelum Cinta pergi.

*******

"Dia ngatain mama gue Jul, menurut lo gue bisa terima? Ditambah si Cinta ngebelain dia? Ngebela yang salah." Reihan duduk di sofa kamar Julian.

"Gue paham, Cinta gak suka kekerasan Rei." ucap Julian mencoba menenangkan.

"Gue tau, tapi gak gini caranya ngebuat seolah-olah gue salah banget dimata tuh cowok brengsek." Reihan terusulut emosinya lagi dan Julian hanya bisa diam mendengarkan keluh kesahnya.

'Persahabatan terbaik adalah ketika dia paham dan mengerti apa isi hati sahabatnya sendiri tapa perlu di ucapkan.'

Ketika Cinta Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang