BAGIAN 6-A

29 5 2
                                    

Sejuknya udara malam langsung menerpa seluruh permukaan kulit Angkasa yang tidak tertutupi kaos abu-abu dan celana jeans yang sengaja dia potong hingga hanya selutut panjangnya. Angkasa sekarang tengah berada di depan rumah Sabilla. Dia menyempatkan diri untuk menemui Sabilla terlebih dahulu. Padahal dia baru saja pulang dari liburan kecil-kecilannya. Angkasa hanya pulang ke rumah untuk menaruh barang dan mandi, selanjutnya Angkasa langsung melesat ke sini.

Dua hari satu malam ternyata cukup merepotkan Angkasa untuk menghalau segala macam bentuk rindu nya pada Sabilla. Dia rindu dengan senyum merekah milik Sabilla yang selalu membuatnya ikutan tertawa, rindu aroma tubuh perempuan itu yang segar, rambutnya yang selalu Angkasa usahakan untuk mengecupnya setiap kali ada kesempatan, mata nya yang berbinar dan banyak lagi. Inti nya, Angkasa rindu Sabilla.

"Assalamu'alaikum." Angkasa mengetuk pintu yang berbahan kayu yang sudah rapuh.

"Wa'alaikum salam." Sahut seseorang dari dalam yang Angkasa perkirakan bukan Sabilla.

Pintu terbuka, seorang paruh baya dengan setelan daster berwarna hitam bermotif bunga merah besar menyambut Angkasa dengan senyuman hangat namun menyiratkan kebingungan.

"Permisi, te. Sabilla nya ada?"

"Oh, Sabilla." Sahut mama nya Sabilla cepat. "Tuh, lagi tidur." Angkasa sedikit melongokkan kepala untuk melihat perempuan yang dia cari.

Di depan tv yang masih menyala, Sabilla tidur di depannya, di atas kasur tipis dan dikelilingi bantal. Angkasa mengulum senyum, kebetulan yang berharga ini bisa ngeliat Sabilla sedang tidur. Tapi Angkasa juga jadi ragu untuk membangunkannya kalau begini.

"Yuk masuk. Bangunin aja tuh Sabilla, dia udah tidur dari sore kecape'an abis nangis." Ungkap mama nya Sabilla menimbulkan reaksi heran dari Angkasa. Habis nangis? Bolehkan Angkasa berharap itu karena Sabilla sedang dilanda rindu juga terhadapnya? Tapi Angkasa rasa itu kedengaran lebay karena mereka juga selama dua hari ini masih bisa berkomunikasi walaupun bisa dihitung jari.

Angkasa berterima kasih kepada mama Sabilla saat dipersilakan untuk duduk. Angkasa sedikit merunduk untuk melihat wajah Sabilla yang tertutup antara bantal yang Sabilla taruh untuk menutupi kepalanya. "Nangis kenapa ya, te?" Angkasa kembali menatap Sabilla, kali ini dengan teliti.

"Kan kemarin itu dia lomba nari, nah dia cerita sama tante kalo dia ngejatuhin kipas nya. Jadi mereka nggak bisa angkat tropi tahun ini gara-gara itu." Angkasa semakin mengerutkan keningnya dalam. Lomba nari? Sabilla sama sekali tidak memberi tau Angkasa tentang itu. "Bangunin aja nggak pa-pa. Tante tidur dulu ya, capek baru pulang kerja."

"Eh iya, te."

Yang memenuhi pendengaran Angkasa saat ini hanya suara tv yang dia dengar hanya dengungan. Angkasa mulai mengelus pipi Sabilla perlahan dan menepuknya pelan dan sangat hati-hati, seakan jika Angkasa menggunakan tenaga nya sedikit saja maka Angkasa sudah menyakiti Sabilla-nya.

"Bill, hei bangun."

Entah karena sudah kebanyakan tidur atau memang Sabilla merasa ada yang aneh dengan sentuhan dan suara yang memaksa nya keluar dari alam mimpi, mata Sabilla langsung terbuka. Saat itu lah Angkasa sadar Sabilla benar-benar habis menangis. Mata nya bengkak.

"Angkasa? Kamu kok disini?" Tanya Sabilla di tengah nyawa nya yang belum terkumpul. Detakan jantung nya pun tidak teratur faktor bangun tidur dan disuguhkan hal yang membuat nya kaget.

"Kamu nangis dari kapan sampe bengkak kayak gitu?" Tanya Angkasa dengan nada yang kelewat khawatir. Disentuhya tonjolan yang terbentuk di atas kelopak mata Sabilla yang indah jika dalam keadaan biasa.

Sabilla mendadak menubruk tubuh Angkasa dan menenggelamkan seluruh wajahnya di sana. Ini yang Sabilla tunggu dan butuhkan dari kemarim malam, disaat semua nya terasa berat bagi Sabilla. Disaat Sabilla merasa tidak memiliki siapa-siapa di dunia. Angkasa pun membalas pelukan itu tidak kalah erat.

#SaVlog Dahulu Cinta KemudianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang