Aku tak tahu harus memilih jalan yang mana. Yang ku tahu hanyalah, aku beruntung mempunyai teman yang selalu menemaniku disaat aku tak lagi punya harapan.
.
.
.Bryan... Bryan...!? Kamu dimana!?
Aku sangat bingung dengan semua ini. Mengapa aku berada di tempat yang berbeda sekarang? Aku dimana? Aku tidak melihat Bryan sekarang. Tempat ini terlalu gelap. Aku tidak bisa melihat apapun saat ini-
Tak lama kemudian, terdengar suara melengking memanggil namaku dengan nada gelisah. "Kenzie...Kenzie...". Ku rasa itu Bryan.
Aku terdiam sejenak.
Aku mulai sadar jika aku sedang tergeletak di samping pohon besar. Aku meraba sesuatu yang sedari tadi menempel pada kakiku. "Kenapa kakiku diiket gini?!"
Selang beberapa menit aku berusaha melepas simpul tali itu, seorang lelaki datang dengan langkah yang tak tentu. Aku mulai merasa ketakutan, hatiku seakan gempar melihat lelaki itu berjalan sempoyongan ke arahku.
Sedangkan tali tampar ini seakan terus melilit kakiku.
Tali ini bernyawa. Tapi, apakah ini tali tampar atau salah satu jenis tanaman langka yang dapat menjerat apapun ketika ia menyentuhnya. "Ini akar ya? Atau tangkai yang hidup?" Aku mulai berbicara dan bertanya-tanya sendiri. Kulihat lelaki itu semakin mendekat.
"Kenzie...!!!" Ternyata itu Bryan. Ia berlari ke arahku. Jantungku kembali berdetak dengan normal saat mengetahui lelaki itu adalah Bryan. Aku mengelus dadaku seraya berkata "Fyuhh..."
"Bryan... kamu dari mana?! Kenapa kita ada disini?" Tanyaku padanya saat ia telah tiba dan duduk dengan kaki selonjoran di sampingku.
"Entahlah. Aku juga nggak tahu!?" Jawabnya kebingungan. Bryan mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan. "Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?" Tanyaku khawatir. Bryan tidak menjawab pertanyaanku. Ia terlihat letih. Aku dan Bryan larut dalam keletihan malam itu. Sebenarnya ada apa ini..-
.
.
.
.
.
.
Saat pagi tiba, aku tersadar dari lelapku. Kudapati kepalaku berada di pangkuan Bryan. Aku melihat Bryan sedang menyandarkan punggungnya di pohon, masih memejamkan mata dengan dengusan nafas yang mulai normal. Aku mulai menegakkan badanku. Mengedipkan mata berkali-kali agar penglihatanku jelas."Sudah pagiii... Apa aku nggak bisa pulang?!"
Aku mulai memikirkan ibu yang sejak sore kutinggal hanya untuk membaca buku bergenre adventure di rumah pohon. Aku mulai merindukannya. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku dan Bryan lakukan agar bisa pulang ke rumah.
Aku menyilangkan kedua kakiku kedalam. Kepalaku tertunduk lesu sembari menitihkan air mata. Tanganku menopang kepalaku.
"Kenzie..." Bryan terbangun. "Kamu kenapa?" Tanya Bryan sembari memegang pundakku. "Kenapa kita masih disini? Berarti, kita harus cari jalan pulangnya. Ini bukan mimpi saat kita tertidur, tapi ini nyata. Sudahlah, Kenzie. Aku disini menemanimu!" Bryan mengambil kesimpulan sekaligus menghiburku.
"Aku penyebab semua ini, Bryan. Kalau aku nggak membaca buku itu, semua ini nggak akan terjadi!" Emosiku membeludak. "Semua ini bukan salahmu, Ken..." Bryan meyakinkanku, kemudian ia mendekapku dalam diam. Suasananya berubah menjadi sunyi. Isak tangisku pun mulai berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Adventure Book
AdventureBuku yang aku baca ini nyata. Buku ini membawaku masuk ke dalam ceritanya. Tiba - tiba saja aku berada di tempat yang aneh. Semua alurnya benar - benar membuatku ingin mati saja. Tapi pada akhirnya aku berhasil kembali pada duniaku setelah melewati...