Pulau - 10

11 3 10
                                    

"Kenapa jadi merona begitu?" Bryan, bisakah kau diam saja dan tidak membuat pipiku semakin merona menahan malu. "Memangnya, kau bisa lihat pipiku, huh? Disini 'kan gelap." Ucapku menahan malu. Dari mana ia tahu bahwa pipiku merona?

"Jangan remehkan penglihatanku,"

"Memangnya kelelawar?"

"Bisa jadi." Aku memukul lengan kokohnya sekali. Meluapkan rasa kesal yang menggebu-gebu ingin dikeluarkan.

Errhh... Bryan benar-benar membuatku meringis. Betapa anehnya aku saat ini. Begitu ketakutan, memang fakta. Tapi, mengapa harus berlebihan? Padahal aku tidak sendiri.

Suasana kali ini tidak sebegitu menegangkan dari yang sebelumnya. Aku dan Bryan menikmati perjalanan dengan perahu ini. Meskipun hanya dengan penerangan tumbuhan-tumbuhan itu.

Air danaunya terlihat lebih menarik jika dilihat dari atas perahu. Seperti bersifat jernih karena penerangan tumbuhan di sekitar danau. Tak kalah menariknya dengan hanya melihat wajah tampan Bryan, eh..

Aku pernah membaca sebuah buku yang menceritakan tentang bagaimana tumbuhan itu bisa menyala seperti ini. Jika aku ceritakan sekarang, kalian pasti tidak akan percaya. Entahlah, dunia magic dan fantasi itu membuatku tidak mengenal dunia nyata. Mendapat sedikit teman, tidak update tentang suatu berita dan lain lain.

Sebagai seorang remaja berusia tujuh belas tahun, aku masih belum bisa meninggalkan semua buku-buku anehku itu. Mereka yang membuat dunia imajinasiku bermain. Hingga aku terkapar di suatu pulau yang tak tahu siapa penghuninya bersama seorang Bryan. Satu-satunya lelaki yang mau berteman denganku. Bahkan, dia seperti menunjukkan betapa perhatiannya padaku. Aku mengaguminya.

Siapa sangka, mataku tiba-tiba mengantuk seperti sekarang. aku memilih untuk menyenderkan kepalaku pada bahu Bryan. Menikmati suasana danau yang sepi, dengan perpaduan cahaya yang remang dari pepohonan di sekitar danau ini. Hingga sepertinya, aku merasa terlelap..

"Kenzie? Ken? Jangan bergerak! Perahu ini bergoyang! Ken!" teriak Bryan sembari memegang pinggiran perahu.

Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba perahu ini bisa bergoyang. Aku juga tidak bisa menahan keseimbangan. Bryan terus saja berteriak. Sedangkan aku hanya bisa menatap ke dalam air danau itu. Air mataku juga lolos. Aku takut. Aku sangat takut. Aku takut air yang dalam. Aku takut tenggelam.

Di dalam sana, air danau itu memiliki pusaran besar yang dapat menarik seluruh isinya masuk ke dalamnya. Dan... pusaran itu sedang bergerak sekarang, bahkan bergerak sangat deras. Aku merasa tenggelam dalam perahu. Daratan sudah setara dengan kepalaku. Kami menyusut. Aku dan Bryan menyusut.

"Aku lihat pusaran, Bryan..." ucapku lirih seakan pasrah dengan apapun yang terjadi.

"Oh , astaga! Aku tidak mau mati muda, Ken!" balasnya histeris.

Mengapa Bryan jadi pesimis, sedangkan aku merasa biasa saja meskipun ketakutan itu ada. Seakan pasrah menerima kenyataan yang akan menjemput tepat di depan mata.

Alam ini berbahaya untuk kamu dan lelaki yang sedang bersamamu. Pulanglah!

Suara itu, suara yang halus dan lembut. Bahkan aku tak ingin bangkit dari awan empuk sebagai pengganti ranjang ini. Seketika, cahaya yang sangat terang dan berkilau seakan memakanku, hingga ku terbangun...

Jadi, hanya mimpi?

Sungguh, aku terperangah mendapati mimpi bak malaikat datang itu. Ia seperti ingin menolongku dari situasi rumit ini. Aku lelah menjalaninya. Seakan tak ada harapan lagi untuk kembali ke dunia nyata.

Kenzie bangun dari posisi tidurnya. Bahu Bryan sangat nyaman. mampu membuatnya tidak ketakutan lagi. Lelaki di sampingku sedang sibuk mendayung  untuk melampaui danau yang kamipun tak tahu dimana ujungnya. Ini danau atau sungai sih?!- batinku

"Kita sudah sampai mana, Bryan?" ucap Kenzie masih dengan suara seraknya. Suara serak khas bangun tidur. Gadis itu merindukan ranjang empuknya, boneka beruangnya, dan ibunya.

"Aku rasa kita sudah setengah perjalanan. Bisa kita lihat dari peta ini."

"Apa?! Masih setengah? Kapan kita tiba?"

"Aku tidak tahu, berdoalah." Bryan tersenyum tulus ke arah Kenzie. Membuat hati gadis itu jadi meluluh. Dan berpikir bukan saatnya untuk menyerah, bukan saatnya untuk terus mengeluh. Ada Bryan di sampingnya. Ada pancaran surya yang terus menemaninya.

ooo

Lapar. Itu yang dirasakan Kenzie saat ini. Mungkin, Bryan juga merasakan hal itu. Tapi mulutnya memilih untuk tetap diam. Berbeda dengan gadis disampingnya itu.

"Bryan.. tidakkah kau lapar?" tanyanya dengan raut wajah melas.

"Y-ya, sedikit."

Tiba-tiba Kenzie mempercepat dayungannya. Bryan bingung dan terkejut melihatnya.

"Apa yang kau lakukan Kenzie?"

"Aku ingin kita cepat sampai. Maka dayunglah dengan keras.." jawabnya dengan pipi yang menggembung. Ah, semakin lucu saja.

"Jangan seperti itu, nanti kita jatuh."

"Ish.. terserah kau saja." Kenzie melepaskan pegangannya pada tongkat dayung. Menyerahkan benda itu dengan wajah kesal. Kini, Bryan kembali mendayung perahu itu sambil tersenyum geli. Mengingat perilaku Kenzie yang menurutnya lucu sekali.

Kemudian, ekor mata Bryan menemukan sebuah pulau di depan sana. Bryan langsung mendayung perahunya untuk menepi ke tempat itu. Setidaknya, mereka bisa makan dengan keputusannya menepi di sebuah pulau.

"Wah ada pulau Bry."

"Yes sweety, mungkin kita bisa makan disana."

"Kau benar." sembari menunjukkan cengiran andalannya.

○○○

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Adventure BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang