"Dahulu, aku selalu menganggap hujan sebagai kekasihku. Hingga aku bertemu tarian dedaunan yang gugur sore itu."
(Gwangju dan Musim Gugur)
❄ ❄ ❄
SEPULUH menit yang lalu sebuah pesawat mendarat dengan selamat di Incheon International Airport, yang termasuk salah satu bandara terbesar dan terbaik di Asia. Selama sepuluh menit itu pula, seorang gadis dengan warna kerudung putih tulang tengah duduk di salah satu kursi tunggu di bandara, terbalut sebuah syal coklat tua di lehernya. Duduk di dekat mesin vendor minuman, kedua tangannya menggenggam sekaleng kopi hangat. Wajahnya berseri, pipi merah mudanya semakin ranum, tak henti-hentinya ia melepas senyuman, sedang hatinya berbunga-bunga.
Gadis itu, gadis dengan pipi merah muda itu bernama Shabira. Shabira Alsaba. Ini merupakan perjalanan pertamanya ke Korea Selatan, pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di bumi ginseng itu. Melakukan perjalanan seorang diri dengan berbekal satu koper besar berwarna merah hati dan sebuah ransel di punggungnya.
Tujuh jam yang lalu gadis berwajah polos itu masih berada di Jakarta. Menghabiskan detik-detik terakhirnya untuk merekam memori kota kelahirannya. Kota yang selama tujuh belas tahun menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya. Shabira berjanji untuk tidak akan pernah melupakan pohon mangga yang tergantung sebuah ayunan berwarna putih di depan rumahnya. Atau Miumi Reading Corner, perpustakaan sekaligus kafe yang merupakan tempat favorit Shabira untuk membaca atau sekedar tempat bersinggah sepulangnya dari sekolah.
Kepindahan Shabira ke Korea Selatan bukan tanpa persiapan. Ia sudah merencanakan segalanya sejak kurang lebih dua tahun lalu. Selama dua tahun itu pula Shabira mengikuti kursus Bahasa Korea. Ia juga membaca banyak buku tentang Korea Selatan, khususnya Kota Gwangju dan Provinsi Jeolla Selatan.
Sebelum beranjak, Shabira mengambil sebuah kamera ber-desain retro dari ranselnya dan mengalungkan benda tersebut ke lehernya. Kamera itu ia dapat dari ayahnya bulan lalu, tepat saat usianya tujuh belas tahun.
Shabira kemudian melihat jam digital di sekelilingnya, pukul 12.30 p.m waktu Korea.
"Dua puluh menit lagi." gumamnya.
Dua puluh menit lagi kereta jurusan Incheon - Gwangju berangkat. Setelah mendarat di bandara Incheon, perjalanan selanjutnya adalah naik kereta dengan rute Incheon - Seoul - Gwangmyeong - Gwangju yang menempuh waktu kurang lebih tiga jam. Shabira kemudian memilih untuk beranjak, meninggalkan tempat yang semula ia gunakan untuk istirahat selepas melaksanakan shalat Dzuhur. Beruntung, ia bisa melaksanakan shalat tepat waktu karena di bandara Incheon tersedia prayer room. Shabira sempat mengambil beberapa gambar di sekelilingnya sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
❄ ❄ ❄
Suasana di Kota Seoul siang ini menyenangkan. Langit cerah berwarna biru, udara hangat, dan angin bertiup lembut. Banyak orang menghabiskan waktunya untuk sekedar duduk di kursi-kursi taman, menikmati keindahan kota Seoul siang itu sambil meneguk segelas cokelat hangat.
Seoul terlihat begitu mempesona dengan perpaduan wajah modern dan tradisionalnya. Jalanan terlihat begitu tenteram, warga kota lebih memilih untuk berjalan kaki dan naik kendaraan umum daripada membeli kendaraan pribadi. Tak salah jika tingkat polusi di ibu kota Korea Selatan itu sangat rendah.
Di tempat lain, tepatnya di sebuah ruangan tertutup, sepasang mata menatap lurus ke depan dengan sorotan tajam. Beberapa kali wajahnya terpapar kilatan cahaya. Terkadang sosok tersebut memasang muka masam, tanpa ekspresi, menatap dengan sayu, hingga tatapan pilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Boy (REVISI)
Ficção AdolescenteSeperti sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan, Jo Jungwoo bukanlah seseorang yang mudah diketahui isi hatinya. Jiwa mudanya yang liar. Hasrat kebebasan yang mengalir di darah dan nadinya. Tak mudah untuk membawa laki-laki itu kembali mengenal Tuhan...