3. Hari Pertama

204 25 18
                                    

"Dan ketika mentari menyapa, aku telah siap untuk menentukan mau jadi apa aku hari ini."

(Hari Pertama)

❄❄❄

MENTARI bersinar tak terlalu terik pagi ini. Udara hangat menyambut warga kota yang mulai beraktivitas. Terlihat pelajar memenuhi jalanan Buk-gu dan bus-bus sekolah. Pemandangan seperti ini terlihat cukup menarik.

Selain lebih memilih untuk menggunakan kendaraan umum, warga Korea Selatan juga lebih senang memakai produk dalam negeri. Terlihat pada pagi ini di bus-bus, baik pelajar maupun pekerja kantoran terlihat menggunakan handphone lokal. Contoh kecil dari kebiasaan-kebiasaan negara maju yang patut ditiru oleh negara berkembang.

Hari pertama sekolah selalu menjadi hari favorit bagi para pelajar, terutama siswa SMA. Berbagai kegiatan di sekolah begitu dirindukan setelah beberapa minggu menghabiskan waktunya untuk berlibur.

Hal serupa juga dirasakan oleh Shabira. Meski baru kemarin sore sampai di Gwangju, hari ini ia sudah harus ke sekolah. Proses pemindahannya ia lakukan tiga minggu lalu dibantu oleh kakaknya. Dan ia diterima di salah satu SMA di daerah Buk-gu.

Tinggal di Buk-gu merupakan salah satu keberuntungan bagi Shabira. Sesampainya disini ia merasa tidak akan menemukan banyak kesulitan untuk beradaptasi. Apartemennya terletak di kompleks universitas yang strategis dan terdapat banyak fasilitas. Di Buk-gu juga terdapat masjid yang merupakan satu-satunya masjid yang ada di Kota Gwangju, Masjid Umar bin Khattab yang terletak di Yangsan-dong.

"Beneran ni gak mau dianter?" tanya Shanum sambil mencuci piring.

"Duh kak, kak Shanum kan udah ngasih tau aku rutenya lebih dari sepuluh kali. Udah hafal nih." jawab Shabira sambil mengenakan kaus kaki.

Saat ini pukul enam pagi dan Shabira berencana untuk ke sekolah tanpa ditemani kakaknya. Jarak tempuh antara apartemen dan sekolahnya hanya sekitar dua puluh menit dihitung berjalan kaki dan naik bus.

"Udah ya kak, aku berangkat nih. Kakak tenang aja, kan aku udah belajar peta daerah sini juga." ucap Shabira menenangkan kakaknya.

"Yaudah sana berangkat. Gak bisa maksa lagi." jawab Shanum setelah hampir setengah jam berdebat dengan Shabira.

"Siap. Assalamu'alaikum." Shabira melambaikan tangan kemudian pergi.

"Wa'alaikumussalam..."

Setelah sekitar lima belas menit kepergian Shabira, Shanum baru menyadari tentang handphone Shabira yang masih belum bisa digunakan karena belum mengganti provider.

Di tempat lain, Shabira saat ini sedang berada di dalam bus. Sambil menunggu perjalanan, ia ambil Al-Qur'an dari ranselnya. Dibacanya tiap ayat dari kitab suci umat Islam itu. Dan selama itu pula, Shabira merasa menjadi pusat perhatian. Bukan karena bacaan ayat sucinya, karena Shabira membacanya dengan pelan. Sepertinya orang-orang sedang memperhatikan caranya berpakaian.

Meski berpakaian seragam sekolah, namun orang-orang terlihat tak biasa dengan kerudung yang ia kenakan. Tapi apapun yang terjadi, memang inilah jalan yang harus Shabira tempuh. Ia siap menerima segala resiko sebagai seorang muslim yang tinggal di negara minoritas Islam. Terlebih setengah dari penduduk Gwangju tidak beragama alias atheis.

The Lost Boy (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang