“Hati manusia ibarat kursi taman di bawah pohon itu. Seseorang singgah, kemudian pergi. Begitu seterusnya.”
(Kursi Taman dan Sebuah Pertemuan)
❄❄❄
DEDAUNAN masih berguguran di bawah langit Gwangju yang semakin menguning sore itu. Semakin sore, jalanan di kota cahaya itu justru terlihat semakin memadat. Para pejalan kaki mengenakan pakaian tebal, syal-syal terlihat melingkar di leher warga kota. Suasana yang tenang menambah kecantikan Kota Gwangju saat itu. Jika saja waktu memungkinkan, ingin rasanya bagi Shabira untuk mengabadikan berbagai adegan pada momen indah itu di kameranya. Sayangnya Shabira harus segera meninggalkan tempat dimana ia berada sebelumnya. Salah satu dari kursi-kursi taman dekat stasiun kereta.
Dalam benak Shabira, kursi taman itu telah menjadi bagian dari hal-hal yang membuat Shabira jatuh cinta pada Gwangju. Lima belas menit berada disana sanggup menambah kekagumannya pada kota ini. Meski ingin berlama-lama menyaksikan gugurnya dedaunan di tempat itu, namun kenyataannya Shabira harus segera pergi. Ia harus segera sampai di Buk-gu sebelum matahari benar-benar tenggelam. Dan saat ini Shabira tengah duduk di salah satu seat di bus. Tak lama lagi ia akan sampai di tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya itu.
Benar saja, pada pemberhentian bus kali ini Shabira benar-benar telah sampai di tempat tujuannya, Buk-gu, tepatnya di daerah Yongbong-dong. Kedua bola matanya melihat sekeliling, jalanan terlihat lebih ramai dari jalan-jalan sebelumnya. Mungkin karena daerah ini dekat dengan kompleks universitas, jadi bisa dipastikan jumlah populasinya lebih banyak dari tempat-tempat lain.
“Sya!” dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara yang tak asing di telinga Shabira.
“Kak Shanum!” Shabira menjerit.
Dilihatnya seorang gadis berkerudung merah hati tengah berdiri tak jauh dari halte tempatnya berdiri. Gadis yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya. Gadis itu adalah Shanum, kakaknya.
Tak lama kemudian kedua gadis itu berlari menghampiri satu sama lain hingga akhirnya saling berpelukan. Senyum mengembang di pipi keduanya.
“Kak Shanum nunggu lama ya?” tanya Shabira melepas pelukan.
“Idih, bukannya ngasih salam dulu.” jawab Shanum mengernyitkan dahi.
“Hehe, maaf kakak. Assalamu’alaikum kak Shanum.” Shabira tersenyum jail.
“Wa’alaikumussalam adikku yang paling bandel. Pasti capek banget ya? Langsung ke rumah aja ya?”
Shabira mengangguk, sedangkan Shanum mengambil koper dari tangan adiknya. Kini mereka berjalan kaki menuju apartemen. Apartemen itu memang baru saja dibeli oleh ayah mereka sekitar satu bulan lalu.
Sebelumnya Shanum tinggal di sebuah sharing house khusus mahasiswa yang lokasinya tak jauh dari apartemennya. Meski harga apartemen di Korea Selatan terbilang mahal, namun karena tidak memungkinkan bagi Shabira untuk ikut tinggal di sharing house, akhirnya ayah mereka memutuskan untuk menempatkan mereka di apartemen ini.
“Welcome home my beloved sister.” ucap Shanum sembari menyalakan lampu.
Di sisi lain Shabira sibuk memandang sekitar, tak lama kemudian ia mulai berkeliling. Apartemen yang didominasi warna silver dan abu-abu itu memang tak terlalu besar, namun sudah lebih dari cukup untuk mereka berdua tinggali. Ruangan-ruangan di tempat itu juga masih terlihat kosong. Hanya ada barang-barang di kamar Shanum, alat-alat mandi di toilet, bahan makanan di kulkas, dan beberapa alat masak di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Boy (REVISI)
Teen FictionSeperti sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan, Jo Jungwoo bukanlah seseorang yang mudah diketahui isi hatinya. Jiwa mudanya yang liar. Hasrat kebebasan yang mengalir di darah dan nadinya. Tak mudah untuk membawa laki-laki itu kembali mengenal Tuhan...