Midas terlambat hadir pada malam keakraban yang diadakan Leonard, tidak tanggung – tanggung ia baru berada di ruang permainan setengah jam kemudian. Pelajaran kian berat setiap harinya, belum lagi agenda ajang Putri Mahkota yang padat dan semua menuntut perhatiannya. Midas terbiasa membatasi aktivitas di sekolahnya sehingga agak kewalahan dibebani setumpuk kegiatan dan membuat kondisi tubuhnya sedikit menurun.
Ia bersyukur karena Alana mendandaninya dengan gaun berwarna hijau tosca yang lembut. Rambutnya digelung rapi di bagian tengkuk dan untuk pertamakalinya dahi gadis itu tidak ditutupi poni. Secara keseluruhan Midas terlihat segar.
Pandangannya segera menyisir seisi ruangan untuk menemukan Leonard, bagaimana pun dialah penggagas acara ini dan Midas merasa wajib menjelaskan keterlambatannya.
Ia menemukan Leonard sedang terlibat obrolan seru dengan tiga orang gadis, salah satu di antaranya adalah Brianne. Di sudut lain Keenan asyik bermain kartu dengan tiga orang gadis lainnya. Zurich bermain piano dan Oryza bernyanyi dengan suara malaikatnya. Dimana aku seharusnya berada? Pikir Midas.
"Selamat malam, Yang Mulia." Ia menekuk lutut di samping gadis ketiga.
"Midas? Kupikir kau tidak akan pernah datang, pukul berapa sekarang?" Tanya si rambut jingga bernama Stella, putri salah seorang politikus.
Midas menyipitkan matanya, "aku menyesal-"
"Aku bersedia mendengarkan alasanmu tapi tidak disaat yang lain butuh perhatianku. Temui aku setelah ini, tapi untuk sementara kuharap kau tidak keberatan menggantikan Miss Morez bermain piano." Pungkas Leonard sebelum ia kembali memalingkan wajah pada teman bicaranya dan mengabaikan Midas. Midas merasa dirinya setara dengan agen MLM yang baru saja ditolak mentah – mentah.
Midas menggeser telapak tangannya ke belakang punggung agar mereka tidak melihat lecet akibat terlalu keras berlatih tenis. Minggu depan Midas akan berpasangan dengan salah seorang pengawal dalam pertandingan.
"Tentu saja." Ia menyungging senyum lebar tanpa dosa membuat para gadis mendengus sinis.
Midas tidak pernah tahu jika acara itu berlangsung hingga satu jam ke depan. Tak seorang pun dari mereka yang menyadari keberadaannya di balik piano yang terletak di sudut ruangan. Seolah mereka semua melupakannya, Midas terus memainkan lagu sepanjang malam tanpa ada yang mempersilahkannya istirahat.
Titik keringat membasahi kening dan pelipisnya bertolak belakang dengan tubuhnya yang menggigil kedinginan. Tak seorang pun menyadari bahwa jemari lentik itu gemetar di atas tuts piano.
"Hentikan!" seseorang menangkap jemarinya sehingga menimbulkan distorsi pada alunan yang ia mainkan. Seisi ruangan tertuju padanya dengan rasa penasaran.
Midas mendongak membalas tatapan cemas Keenan, "Yang Mulia?"
"Aku melihat tanganmu gemetar dan kau tidak terlihat baik. Kembali saja ke kamarmu dan beristirahatlah."
"Bolehkah?" Wajah pucat itu dipenuhi harapan.
Ketika berdiri dari tempat duduknya, ia melihat Leonard ikut berdiri dari sofa yang ia duduki. "Apakah aku sudah mengijinkanmu untuk berhenti?"
"Ya?" Netra gadis itu melebar tak percaya.
"Leon, dia sakit." Keenan mencoba membelanya namun Leonard tidak mengacuhkan.
"Benarkah itu, Miss Framming?" Tanya Leonard tak peduli.
"Tidak, hanya-"
"Dia pucat dan badannya panas." Sergah Keenan lagi.
"Apakah sekarang kau memiliki juru bicara, Miss Framming?"
Midas menutup mulutnya rapat – rapat persis seperti semua gadis yang ada di sana, ia hanya mampu menyaksikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Throne Of Love (#3 White Rose Series)
RomanceLeonard mengadakan sebuah ajang demi mendapatkan seorang istri yang ideal. Di antara beberapa kandidat terpilih, Leonard telah menetapkan hatinya pada seorang gadis sempurna bernama Maribelle Glinden. Maribelle akan menjadi pasangan yang sempurna ba...