sembilan

1K 30 3
                                    

-Aku kira, hari ini bakal hujan karena aku lihat kamu dengan dia. Tapi hari ini cerah, seolah olah langit mengejekku-

Nia bangun dari tidurnya, berjalan gontai menuju cermin. Mata Nia sembab, wajahnya menunjukkan kelelahan yang amat dalam. Wait, kapan nia nangis? Ya, kemarin ketika Nia ingin tidur tetapi pikirannya melayang pada sosok akbar yang kini telah memiliki seorang kekasih.

Rasanya ia ingin tidur seharian. Ia tidak mau bertemu akbar maupun riska untuk menyembunyikan keadaannya. Kemarin nia sudah memaksa kedua orang tuanya agar ia diperbolehkan tidak masuk sekolah dengan berbagai alasan tetapi tetep saja orang tunya tidak memberi izin.

"Bodoh, kenapa gue nangisin dia? Gue siapanya? Dia siapa gue? Cuma temen, iya temen. Gak lebih" nia berbicara sendiri di depan cermin. Lalu berjalan gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan sisa air mata agar kedua orang tua nia tidak curiga kalau putrinya baru menangis.

***

Terdengar suara teriakan histeris dari riska dan temannya karena kejadian kemaren. Obrolan mereka terdengar jelas karena riska duduk tepat di samping nia. Nia tidak berniat mendengarkan obrolan mereka dan memilih menenggelamkan kepala di lipatan kedua tangannya.

"Niiiii" toa tiara tapi tak membuat nia mengubah posisinya "orang manggil itu dijawab"

"Apa?" suara nia terdengar lebih pelan dari biasanya

"Lo sakit? Kenapa lo masuk?" kata tiara khawatir

"Gue gak papa" alasan nia

"Gue tau lo kenapa napa"

"Gue beneran gak papa"

"Gue tau ni, itu sakit"

Nia menggelengkan kepalanya dan tidak berniat membahas itu.
Syukurlah bel masuk berbunyi, jadi Nia tak perlu membalas berbagai pertanyaan tiara lagi. Pelajaran pertama adalah Seni Budaya. Ketika yang lain sibuk menganyam, Nia malah diam tak melakukan apa pun.

"Ni gue tau perasaan lo" tiara menghampiri nia yang sedang berada di bangkunya.

"Lo tau apa?" kata nia ketus.

"Lo lagi sakit hati yakan? Lo gak perlu cerita tapi gue udah tau, mata lo yang bicara semua" jelas tiara "seharusnya lo gak perlu gini. Gue tau lo kuat, masa cuma gini lo jadi gak semangat? Plis ni, buka mata lo lebar-lebar. Masih banyak yang peduli"

"Iya" singkat nia. Sungguh yang diomongkan tiara ada benarnya tapi pikiran nia gak bisa berkompromi dengan hatinya.

Hingga bel istirahat berbunyi, nia hanya terdiam seperti tadi. Nia yang mengaduk-aduk kuah baksonya tak sengaja menemukan sosok kedua remaja sedang duduk berdua. Ya, mereka adalah akbar dan riska. Tiara memperhatikan nia yang pandangannya lurus tanpa berkedip kemudian ia mengikuti arah pandangan nia.

“pantes aja tatapannya kosong, ngeliat dua setan” kata Tiara pelan yang mungkin tak terdengar oleh nia. Tiara yang bosan dengan sikap nia, kemudian ia mengajak nia kembali ke kelas. Nia yang tak bersemangat untuk menentang, ia hanya mengikuti tiara di belakang.

***

“udah dong ni, jangan galau terus” kata Tiara sambil memasukkan bukunya ke dalam tas karena sekarang sudah jam pulang.

“gue gak galau” kata nia yang juga memasukkan buku-bukunya. Setelah mengucapkan kata itu nia menggendong tasnya dan berjalan keluar kelas.

“niaaaaa” akbar memanggil nia di koridor kelas 11. Nia yang enggan berbicara dengan akbar, mempercepat langkahnya tapi nia kalah cepat dengan akbar. akbar kini telah menarik pelan lengan nia agar nia berhenti.

“lo kenapa?” tanya akbar yang masih memegang lengan nia.

“gak papa”

“gue mau ngomong sesuatu sama lo”

“tentang?”

“riska”

“gak perlu karena gue udah tau semua. Lo jadian kan sama dia? Haha se la mat” kata nia mengibaskan tangannya agar tangan akbar juga terlepas kemudian ia berlari sekencangnya. Sedangkan akbar masih diam mematung.

“lo gak tau ni, ini gak seperti yang lo pikirin. Gue sayang sama lo” –batin akbar.

***

Hembusan angin pagi membelai lembut kulit pemuda itu. Ia duduk dibangku panjang perpustakaan dengan kedua bola mata terfokus disebuah buku. Ia ingat tempat ini pernah menjadi saksi kedekatan akbar dan nia.

Tapi kini terasa berbeda, gadis itu tak lagi bersamanya. Gadis itu telah memilih menjauhinya. Senyum kecut terbit pada wajah tampannya. Sungguh miris kisah cintanya. Helaan nafas keluar melalui bibir akbar. Akbar membalik halaman bukunya.

“woy..” tepukan di bahu membuat akbar terlonjak, cowok itu menatap tajam bagas yang kini duduk disampingnya.

“apaan sih lo?”

“ye galak amat sih om”

“am-om-am-om, pala lo. Kapan gue nikah sama tante lo?” akbar menupuk kening bagas.

Bagas terkekeh “tadi riska nyariin lo”

“bodo.”

Bagas berdeham “susah sih ya ngomong sama orang galau”

Akbar tak menanggaapi, kembali pada buku yang sedari tadi ia baca.

“lo gak ngehargai gue banget” bagas bersedekap.

“ke kantin sana, jangan ganggu gue”

“nggak, rame”

Hening..

“lo kok bisa jadian sama riska? Bukannya lo suka sama nia?” tanya bagas memecahkan keheningan.

“salah nembak”

“maksud lo?”

Akbar menghela nafasya kasar “oke, gue emang suka sama nia sampe minta saran sama lo malem itu. Lo nyarainin agar gue cepet-cepet nembak nia. Dan besoknya gue nembak dia lewat surat. Gue gak tau kalau dikelasnya ada murid baru sehingga nomor absen nia turun. Jadi, gue taruh surat itu diloker riska bukan nia”

Bagas menggelengkan kepalanya “bego ya lo”

“terus gue harus gimana?”

“gimana apanya?”

“gimana buat ngembalikan semua?”

“lo putusin riska dan jelasin semuanya ke nia”

Akbar menggeleng frustasi “gak bisa gas. Nia ngejauhin gue”

“coba aja dulu. Sebab cinta yang sesungguuhnya nggak akan pernah salah jalan buat pulang”

Bagas benar. Akbar tidak salah menceritakan semua pada bagas yang slalu punya saran terbaik.

***
maaf ngaret+pendek:' terimakasi telah membaca :)

-Because I Love You- [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang