Chapter 9

82 12 13
                                    

Hari Selasa ini cuaca cukup mendung, seperti hati Arzi yang kini sedang tak berawan cerah. Hati nya masih terasa remuk hancur berantakan. Semua ini karena Genta yang membuatnya gelisah, galau, dan merana.

Memang, Arzi yang memutuskan hubungan diantara mereka, tetapi tidak ada niat sedikit pun dari hatinya untuk memutuskan hubungan ini. Namun apa daya, Genta sendiri yang telah membuatnya mengambil keputusan ini.

Entah mengapa, hati Arzi tidak bisa menerima keputusannya sendiri, kepetusannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Genta. Keputusun ini sangat berat baginya, tidak bisa semudah itu ia menerima semua ini.

Sayang, suka, dan cinta.

Itu semua masih Arzi miliki untuk Genta. Ya benar, ia masih menyayangi, menyukai, bahkan ia pun masih mencintai Genta sampai detik ini. Namun, Arzi sudah merasa lelah dengan sikap Genta.

Sejak semalam, Arzi tak henti-hentinya menangis. Sampai-sampai Bang Arjun, kakak lelakinya, harus menelepon ayah dan ibun nya untuk meminta agar mereka cepat pulang dari tugasnya di luar kota. Arjun sangat kebingungan menghadapi adik perempuan satu-satunya yang sedang galau itu. Menurutnya, saat ia sedang galau, sepertinya tidak sebegitu galaunya. Maka dari itu, Arjun tidak tahu apa yang harus ia perbuat untuk menenangkan Arzi.

Mulai sekarang, Arjun yang akan mengantarkan Arzi sampai depan pintu gerbang SMA Merah Putih dengan selamat. Seperti hari ini, Arzi telah duduk rapih di dalam mobil milik Arjun, dan Arjun siap mengantarkan Arzi ke sekolahnya.

***


Arzi berjalan di sepanjang koridor menuju kelasnya. Sepanjang koridor, banyak siswa-siswi yang sedang berbincang-bincang, ada pula yang sedang saling berbisik sambil melihat ke arah Arzi. Arzi menghiraukan itu semua, ia tetap berjalan dengan santai tapi pasti sampai ke kelasnya.

Sampai di kelas, Arzi langsung menaruh tas nya di tempat duduk yang biasa ia tempati. Arzi melirik samping kirinya, tidak nampak tas Zein di sana. Ya seperti biasa, Zein akan datang tepat 1 menit sebelum gerbang sekolah ditutup. Arzi juga melihat ke bangku depannya, di sana sudah ada tas Tere dan Nesa, namun tidak terlihat batang hidung kedua sahabatnya itu.

Arzi menghiraukan suasana kelas yang ramai ini, ia sedang tidak mood untuk berbicara, akhirnya ia memutuskan untuk menenggelamkan mukanya di atas meja.

Tak lama, Tere dan Nesa datang menghampiri Arzi dengan sebotol air mineral di tangan kanan Nesa.

"Arzi?" panggil Tere. Merasa dipanggil, Arzi mengangkat kepalanya, melihat siapa yang telah memanggil namanya.

"Are you okay, Zi?" tanya Nesa khawatir. Melihat kantung mata Arzi yang sedikit menebal dan tidak seperti biasanya, kedua sahabat Arzi itu merasa khawatir. Mereka takut Arzi akan sakit. Mereka juga tahu apa yang telah menyebabkan Arzi seperti ini.

"Lo pasti semaleman nangis ye? Kaga tidur ya lo?" tanya Tere saat ia sudah menduduki bangkunya tepat di depan Arzi.

Arzi hanya mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Ia yakin, bahwa kedua sahabatnya ini sudah mengetahui apa yang terjadi padanya semalaman.

Nesa berpindah posisi, ia menduduki kursi Zein, "Utukutuk tayang, jangan nangis lagi dong," ucapanya sambil memeluk Arzi.

"Nggak usah lebay gitu deh Nes," suara Arzi terdengar serak, layaknya orang yang sedang sakit tenggorokan.

"Suara ku serak seperti kodok," ledek Apris yang sedang duduk di meja sebelah Arzi.

"Bhak!" ucap Tere sinis kepada Apris.

"Apris mau ngelawak?" tanya Nesa.

"Nggak Nes, mau boker," jawab Apris sekena nya.

"Lo mau boker? Pantes anjir, dari tadi bau-bau apa gitu di sini, seperti bau tidak sedap," ujar Wildan yang sedang duduk di bangku sebelah kanan Apris sambil menutup hidungnya.

Seriously?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang