Chapter 3

140 35 43
                                    

Hari ini adalah hari Sabtu, mulai hari ini Arkan harus melaksanakan janjinya itu. Pagi ini Arzi datang pagi-pagi, berhubung jam pelajaran pertama adalah pelajarannya Bu Okta, maka kelas harus bersih, kalau tidak Bu Okta pasti akan memarahinya. Selama Arzi sekolah, baru kali ini ia mendapatkan wali kelas yang begitu cerewetnya.

"Salah gue nih waktu itu mau-mauan coba jadi seksi kebersihan, pao nih emang." Arzi berbicara sendiri layak orang gila yang baru keluar Rumah Sakit Jiwa. Ia berjalan kebelakang kelas untuk mengambil sapu dan serok. Arzi mulai menyapu dari bagian belakang kelasnya.

Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu kelas, "Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," jawab Arzi sambil memalingkan wajahnya dari lantai yang ia sapu untuk melihat siapa yang datang, karena baru ia saja yang datang.

"Tumben lo udah dateng?" tanya Arkan seraya menaruh tas dikursinya, "Oh gue tau, lo pasti nggak mau kena omel Bu Okta ya?"

"Nggak usah banyak cingcong, mending bantu gue," kata Arzi serya menyapu lantai.

"Oke, mumpung gue lagi baik." Arkan berjalan menuju pojok belakang kelas untuk mengambil sapu.

"Serah," jawab Arzi singkat, ia sedang tidak ingin berdebat dengan Arkan, "Nih silet punya siapa sih?" tanya Arzi saat sedang merapihkan meja guru.

"Mana gue ta—"

"Aaaaa!" Arzi berteriak secara tiba-tiba, membuat Arkan memalingkan wajahnya dari lantai yang ia sapu.

"Lo kenapa Zi?" tanya Arkan panik, ia menghampiri Arzi yang sedang berdiri di depan meja guru sambil memegang jarinya.

"Ja..jari gue Ar!" Arzi menunjukan jarinya yang berdarah karena terkena silet, ia menahan tangisnya walau jarinya terasa perih.

"Sini ikut gue!" Arkan menarik tangan Arzi dengan lembut, ia membawa Arzi ke depan wastafel untuk membersihkan darah yang ada dijari Arzi.

"Ar perih!" keluh Arzi, ia memukul pundak Arkan. Bila lelaki yang ada di hadapannya ini adalah Genta, mungkin ia akan memeluknya.

"Bentar ya gue bersihin dulu." Arkan mengusap dengan lembut jari Arzi yang terkena silet itu, "Biar gue obatin di kelas yuk."

Tangan Arzi ditarik Arkan menuju dalam kelas. Arkan menyuruh Arzi untuk duduk dikursi, sementara Arkan sendiri berjalan ketempat kotak obat berada untuk mengambil obat merah dan perban serta plaster nya.

"Sini gue obatin dulu." Arkan menarik tangan Arzi, tepatnya jari Arzi yang terluka. Ia mulai mengelap sisi-sisi lukanya tersebut, kemudian ia memberikan obat merah ke luka dijari Arzi tersebut.

"Aw! Perih Ar!" Arzi menyerinyit kesakitan.

Mendengar itu, Arkan langsung meniup jari Arzi yang terluka. Tanpa disadari, air mata Arzi telah membasahi pipinya. Arzi memandangi wajah Arkan yang sedang meniup jarinya, ia mengingat satu kejadian.

Waktu itu, tangan Arzi pernah terluka seperti ini juga saat ia sedang bersama Genta. Namun Genta malah memarahinya, bukan menolongnya.

"Lo gimana sih Zi? Kaya anak kecil aja deh!" kata Genta dengan nada yang tinggi.

"Ya gue nggak tau Ta. Bantuin gue." Arzi menangis, namun Genta malah memarahinya.

"Obatin aja sendiri!" Genta meninggalkan Arzi sendirian.

Genta benar-benar tega dengan Arzi, bukan hanya sekali itu ia seolah tak peduli dengan Arzi. Namun entah mengapa Arzi masih kuat bertahan sampai saat ini.

"Eh jangan nangis." Arkan mengusap air mata yang membasahi pipi Arzi, "Ini kan cuma luka kecil"

"Thanks Ar." Arzi menatap wajah Arkan, ia butuh Genta yang seperti Arkan. Yang tak pernah memarahinya saat ia kesulitan.

Seriously?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang