Chapter 1

1.5K 81 11
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

O
O
O

Kring!!

Tok tok!!

"Yamanaka-san!"

Kring!!

"Yamanaka!!"

Sebuah kepala menyembul dari balik selimut tebal, musim panas membuatnya semakin gerah dengan suara-suara berisik dari dalam maupun luar apartemennya. Apa salahnya hari ini!? Benaknya meraung-raung bagai serigala terjepit di belahan pohon. Ia belum memesan apapun! Ia tidak harus membayar tagihan apapun! Ia tidak ingin di ganggu siapapun!

Jadilan kembali di tariknya selimut tebal, bergelung lagi, dengan iris tersembunyi di balik kelopak mata.

"Yamanaka!!"

Kring!!

Suara di luar sana kembali berdengung, pun dengan bunyi sambungan telepon yang memekang telinga.

Ia sontak bangkit. Raut prustasi, rambut tidak dapat di jabarkan, bekas liur mengering membentuk garis sampai ke pipi, kantung mata, dan jangan lupa lingkaran hitam mengerikan memengelilingi matanya.

Ino seperti gadis gila pada umumnya.

Beranjak, lalu meraih gagang telepon di nakas kemudian merekatkan spiker telpon pada telinganya. Ia merasa tidak perlu mengucapkan salam klasik berupa hello pada si penelpon yang telah di anggapnya pengganggu.

"Apa di angkat?"

Alisnya menukik ketika suara perempuan yang lumayan sering di dengarnya terdengar.

"Siapa ini?"

Ino menambah kernyitan di dahinya lebih dalam ketika mendengar suaranya sendiri, persis seperti suara kumbang dalam botol.

"Yananaka Ino?"

Ino berdehem singkat, kini suara itu lebih seperti laki-laki. "Ya,"

''Bisa bertemu? Kami ingin mengajak anda bernegosiasi."

Negosiasi? Ino membeo dalam hati dengan alis yang terangkat heran.

"Tidak bisa." Ino menjawab setelah beberapa menit.

"Kami akan segera meratakan bangunan yang anda tinggali."

Ah, si gadis pirang paham sekarang. Tapi, kenapa tiba-tiba? Lagipula hak apa mereka berani membongkar rumahnya hingga rata? Ino sempat menjauhkan gagang dan menghapkannya kedepan wajah, orang sinting benaknya menyerapah.

"Ini adalah rumahku, jika ingin ke pengadilan maka urus saja."

Dengan itu Ino menutup sepihak panggilan si penelepon, mendadak saja ia jadi jengkel sendiri. Di tariknya kabel telepon hingga terlepas dari saklar, kemudian melangkah menuju kamar mandi. Ia perlu pendinginan kepala setelah di panas-panasi──menurutnya, oleh manusia sinting tadi.

Kejadian ini memang sudah klasik untuk Ino. Bahkan bisa sampai tiga kali dalam satu bulan mereka menawar──memintanya segera meninggalkan satu-satunya tempat tinggalnya di dunia. Kini bukan lagi rayu-rayu atau marah-marah, melainkan ancaman. Hak apa dia mau di ancam? Ino bukan sejenis batu es yang gampang luluh terkena panas mencekik dari sang raja langit sekalipun.

Ino terlebih dahulu menuju wastafel untuk membersihkan wajah, memakai sikat gigi sekaligus pastanya untuk membersihkan gigi, membersihkan wajah dengan sabun muka, lalu berdiam diri mengamati raut enggan hidupnya lama.

A R O M ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang