chapter 12

468 65 19
                                    

AROMA

.
.
.

Ino tidak kerap menjadi seorang pemikir, hanya saja ... Untuk saat ini ia harus segera memeras otak dan terus memaksa untuk mengingat.

Sudah dua hari sejak kunjungan Mikoto ia mengurung diri. Tidak berinteraksi dengan Sasuke, atau sekedar berpapasan.

Ia keluar ketika jam bukan lagi di miliki mata-mata terjaga, atau jam padat aktivitas individu. Ia mengendap lalu menimbun persediaan.

Bukan tanpa alasan, Ino hanya merasa ... Sedikit khawatir. Membuat ia berpikir, dengan menjaga jarak adalah yang terbaik untuk saat ini. Untuk ia dan kesehatan seseorang yang telah mau bersusah menolong pembawa sial seperti dirinya.

Gadis itu merubah posisi tengkurapnya menjadi telentang, ia menatap langit-langit sebentar sebelum mengambil napas pendek.

Menurutnya tinggal sedikit lagi hal yang ia butuhkan.

Menerawang, ia mengingat jelas wajah monster itu. Membuat degub jantung datang seperti di undang. Ino memejamkan irisnya. Inikah hasil hampir dua puluh tahun hidupnya? Mengorbankan orang-orang terkasih dengan hasil yang tidak berbeda?

Hei, jika tahu begini mengapa tidak dari dulu saja?

Ino takut. Iya, tentu saja.

Sesungguhnya, secuilpun tidak ada keberanian dalam hidupnya. Hingga detik ini pun, semua sama. Yang ada hanya tekat dari situasi yang mendesak. Tetap saja, Ino terus merasa ketakutan.

Lama bergelayut dalam keheningan malam. Ino terkesiap mendengar sebuah ketukan dari luar sana. Gadis itu tidak sempat sedikit merapikan kertas berserakan di lantai ketika pintu terbuka, dengan Sasuke bersama wajah lelahnya di sana.

"Maaf mengganggu." Ujar lelaki itu.

Ino menggeleng, ia sudah merubah posisi tubuh menjadi duduk bersila di lantai. "Maaf membuatmu terlihat seperti tamu dalam ruangan milikmu sendiri." Gadis itu menyengir.

"Hn."

Sasuke melangkah masuk, ia memerlukan beberapa contoh pekerjaan lamanya. Lelaki itu sempat melirik kertas-kertas berhamburan yang sedang di tangkap tangan berjari kurus gadis itu.

Tumben gadis itu menggambar hal selain busana. Padahal ia tidak seperti perempuan yang suka membuang waktu untuk hal yang tidak jelas.

Entahlah, tapi pohon-pohon dan anak tangga dalam salah satu kertas terlihat tidak asing.

Segera mengambil keperluan yang di butuhkan, Sasuke lantas bergegas untuk segera meninggalkan ruangan. Ia sedang tidak ingin melanjutkan pikiran-pikiran tidak jelas, dan hanya ingin pekerjaannya segera selesai.

Namun, sebelum lelaki itu rapat menutup pintu, Ino segera memanggilnya.

"Uchiha-san."

Sasuke tidak menyahut, hanya menatapnya dengan tanda tanya, setelah membuka pintu sedikit lebih lebar.

"Apa ucapanmu yang lalu masih berlaku?"

Lelaki itu tampak berpikir sejenak. "Hn."

"Aku ingin melihat laut." Ino tersenyum, "bolehkah?"

Sasuke seperti kembali berpikir, "akhir pekan ini. Aku akan mengajak Naruto."

Ino semringah, "kau bisa mengajak dokter klinik dan bibi Mikoto juga." Ujarnya antusias. Namun di detik selanjutnya, Ino mengantup bibir dan menyumpahi dirinya karena kelancangan mulutnya tersebut. Ia sudah mendengar keadaan rumah tangga mereka langsung dari Mikoto yang benar-benar tidak bisa menutupi aib keluarga.

A R O M ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang