Chapter 14

382 53 19
                                    

A R O M A
.
.
.



Ino tidak dapat tidur, bagaimanapun ia menutup matanya gadis itu tetap terjaga dan terjaga. Pikirannya terus berkecamuk, gadis itu bahkan kesulitan mengatur napas.

Ia memeluk kakinya lagi. Punggungnya terasa kaku—dingin, terlalu lama merekat di dinding.

Si gadis mendongak, kamarnya begitu gelap hingga cahaya yang masuk menjadi penentu antara siang dan malam.

Sepertinya sudah malam lagi. Rasanya Ino tidak ingin beranjak walau sedikit saja. Meski pada kenyataannya ia belum sedikit saja berpindah posisi sejak ia mengurung diri.

Ino mulai berpikir-pikir lagi. Tentang mengapa ia mengurung diri, atau mengapa sulit bernapas dan dadanya terasa sesak. Lalu sebuah adegan yang sama terulang lagi, lagi, dan lagi.

Seperti jam. Terus berputar pada angka yang sama, bertahun lamanya.

Gadis itu mengeratkan pelukan, lalu meringis hingga ia akan menangis. Tapi air matanya tidak kunjung meriak di permukaan. Hanya ingin.

Ketakutan menggerayangi hingga kesela tulang-tulangnya. Begitu tajam hingga jika Ino lengah, maka gadis itu akan tenggelam di dalamnya tanpa bisa sedikit menolong diri.

Lalu, pikiran-pikirannya beralih dan mulai meraung menanyai. Tentang mengapa ia bersikap seperti ini? Mengapa harus terjadi lagi? Mengapa harus orang lain lagi?

Atau, bagaimana jika dia akan berakhir sama? Bagaimana cara menanggung semuanya? Bagaimana ia mengatakan pada orang-orang?

Cara menebus dosa?

Tunggu, apakah itu dosa?

Ia hanya secara tidak sengaja terlibat. Ino tidak bersalah, mereka menghendaki ini lebih dari siapapun!

Lantas kenapa ia ketakutan?

Apa masalahnya?

Sebentar, barusan Ino sedang memikirkan apa?

Apa yang terjadi? Mengapa ia berjongkok seperti orang tidak waras?

Kelopaknya semakin melebar, irisnya bergetar. Ino ganti mencengkram rambutnya yang sudah hampir tak berbentuk. Isi kepalanya benar-benar seperti baling-baling. Ino mual, ingin muntah, tapi tidak bisa.

Merasa sesak, Ino menarik napas, lalu tersadar. Terus seperti itu, hingga mungkin ia benar-benar akan gila sungguhan.

Sudah ... Cukup.

Gadis itu membiarkan kakinya lurus terjulur kedepan, ia sedikit membentukan kepala pada dinding untuk menjaga kesadaran mentalnya. Mengantuk-antukkannya beberapa kali sebelum beranjak dari posisi duduknya dengan di bantu dinding, Ino merasa keram, tapi itu bukan hal yang perlu di perhatikan.

Setidaknya, Ino ingin lampunya menyala, lalu pergi mandi untuk sedikit relaksasi.

Jika hanya meratap, setahunpun tidak cukup untuk menuntaskan segalanya. Ia perlu sesusatu, sesuatu yang dapat mengubah segalanya.

Gadis itu berendam setelah bak terisi penuh dengan air hangat. Ia menghela napas panjang, ketika matanya tertutup rapat—berupaya menikmati sensasi. Lalu membuka matanya lebar-lebar yang sontak mengarah pada langit-langit usai bersandar di sisi bak.

Ini bukan hal yang seharusnya ia nikmati—sebagai tamu kurang ajar, di rumah seseorang yang baru ia kenal dalam hitungan hari. Ino tertawa miris, di saat orang yang menampungnya hampir sekarat, ia bahkan tidak memiliki hati untuk sedikit saja membantu. Malah merenung tidak jelas hingga lebih dari empat puluh jam.

A R O M ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang