Part 2 : Diamond
Aku merasakan napasku cekat, sesak sekali rasanya. Tangan itu mencekik leherku, pelakunya adalah salah satu anggota tim itu yang kudengar dia menyebutkan namanya adalah Aria. Alexa dan Calista sibuk dengan musuh mereka yang bahkan tak memberi keduanya ruang gerak yang luas, selalu menyerang dan menyerang. Aku tidak boleh mengandalkan mereka. Aku mencoba mengeluarkan sulur-sulurku perlahan dari tanah lalu mengikat kakinya, setelah terikat, kuhempaskan badannya. Aku mengambil napas sebanyak-banyaknya.
Dia melihatku geram, aku balas menatapnya dengan tatapan seadaku yang bahkan tak bisa menakuti seekor semut. Jujur, aku sedikit ketakutan menghadapinya. Aria menghajarku dengan pukulannya yang kuat, kurasakan sudut bibirku berdarah karenanya.
"Masih kurang?" Tanyanya menatapku sembari tersenyum menyeringai. Tanah itu menjebakku, kakiku tertahan karenanya sama seperti yang Nalu lakukan kali itu. Oh, ya ampun. Sulur-sulur tanamanku terus kukeluarkan dan dia menepisnya dengan elemen apinya. Apakah semua bangsawan punya lebih dari satu elemen hah?! Kenapa aku baru tahu? Apa aku kurang membaca buku? Ya ampun, aku kesal sekali.
Dia meninjuku lagi, kali ini darah yang keluar semakin banyak. Dia menjambak rambutku kasar, membuatku menatap maniknya yang membara. Napasku naik turun tak beraturan. "Apa kubakar saja rambut ini ya?"
Aku melotot dan dia tertawa senang, api di tangannya berkobar. Aku menangis, tidak, rambut ini tidak boleh dibakar. Kepalaku akan jadi seperti apa nantinya? Kurasakan air mataku yang menggenang dan jatuh perlahan. "Cup cup, jangan menangis, aku akan menyayat wajahmu saja deh kalau begitu."
"Tidak!" Aku berteriak dan dia meninjuku lagi dengan tangannya yang sudah tak berapi lagi. Aku geram, lalu menjambak rambutnya dan mengeluarkan sulurku lagi untuk mengikatnya. Dia menatapku, pasti dia kesal. Dia membakar sulurku itu dengan apinya, sial. "Dari tadi hanya sulur? Yang bahkan tak ada dalam elemen, hahah."
"Jangan tertawa." Ucapku dingin dan dia menatapku meremehkan.
"Kenapa? Bukankah itu kenyataan, aku tak habis pikir bagaimana lemahnya orangtuamu, anaknya saja seperti ini."
Bola-bola air tiba-tiba saja mengelilingi Aria dan menjebaknya kedalamnya. Napas Aria tercekat, dia tak bisa bernapas di dalam sana. Aku tersadar, dan seketika bola-bola air itu hilang dan Aria terjatuh. Kulihat Alexa dan Calista yang sudah berhasil melumpuhkan musuh, meski hanya membuat keduanya tak sadar, sepertinya Alexa juga membuat Aria tak sadar.
"Alexa? Kau yang membuat bola air itu untuk menyelamatkanku?" Tanyaku pada Alexa yang menatapku aneh. Memangnya aku kenapa?
"Tidak. Kau yang membuatnya, bagaimana bisa?" Jawab Alexa yang sontak membuatku terkejut.
-
Kami meneruskan perjalanan, hanya berbekal ingatan Alexa soal tempat berlian itu. Dan beruntunglah kami belum menemui musuh lagi sedari tadi.
"Bagaimana kalau kita beristirahat dulu? Hari sudah semakin sore dan kita belum makan apa-apa." Ucap Alexa, aku dan Calista hanya mengangguk lalu mengikuti Alexa yang berjalan kearah goa. Duduk disana. Minim penerangan, sontak saja Calista mengambil beberapa kayu dan membakarnya dengan kekuatan apinya.
"Sombong." Gerutu Alexa pada Calista yang hanya dibalas dengan tatapan datar miliknya. Aku mengambil makanan dari tasku dan Alexa juga Calista terkejut melihatku, memangnya aku salah apa?
"Hei, tidak diperbolehkan membawa makanan bukan? Tadi aku juga ingin membawa makanan tapi ada penjaga yang memberitahuku." Ucap Alexa dan sontak saja aku membuang makananku, aku masih tidak mau melanggar peraturan.
"Bagaimana ini?" Tanyaku dan Alexa hanya tersenyum melihatku yang kepanikan. "Hei tenanglah, mereka juga takkan membunuhmu hanya karena makanan itu, kecuali kalau kau mencuri berliannya dan menukarnya dengan yang palsu, karena berlian itu sangat berharga." Ucap Alexa menenangkanku dan aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku.
Calista keluar. "Aku ingin mencari makan dan membawakannya untuk kalian." Sontak, aku dan Alexa dibuat melongo karena tingkahnya, dan dia sudah pergi meninggalkan goa itu. Hei, bagaimana kalau terjadi sesuatu diluar sana?!
"Alexa! Ayo kita mengejar Calista! Bagaimana kalau ada yang menyerangnya?" Aku berdiri dan dia mencegahku dengan memegang tanganku. Aku menoleh kearahnya yang menggeleng.
"Dia bukan wanita lemah, An."
Aku kembali duduk bersandar di dinding goa ini, lalu menunggu Calista kembali. Hanya beberapa menit, Calista sudah kembali membawa buah-buahan yang nampak lezat, juga ikan segar dan air yang dia taruh di botol minumnya yang besar.
"Kau hebat Cal!" Seruku dan kulihat dia tersenyum tipis menatapku. Calista tersenyum? Tersenyum kearahku? Benarkah?!
Aku memeluknya yang membuatnya menegang. "Calista maafkan aku, aku tak tahu apa kesalahanku yang membuatmu menjauhiku, aku merindukanmu, apa karena ayahku yang dituduh mata-mata kerajaan dert lalu kau tidak mau bersahabat denganku lagi?"
Kurasakan Calista membalas pelukanku, aku sangat senang, itu membuat senyumku mengembang. "Tidak, ibuku menyuruhku untuk membencimu, kau anak mata-mata, ibuku tak mau aku bersahabat denganmu, maaf."
Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya yang tersenyum sendu. Jadi, tingkahnya selama ini bukan murni dari hatinya? Oh, aku bersyukur sekali. Aku melirik kearah Alexa yang mengacungkan jempolnya kearahku. "Jadi, kita bertiga berteman ya? Ah tidak, bersahabat oke?"
Mereka berdua mengangguk dan tersenyum senang, kami duduk tenang kembali sembari membakar ikan. Baunya sepertinya sangat lezat dan menggugah selera. Ah tak sabar aku ingin memakannya. Bersama sahabatku tentunya. Hehe.
-
Kami beristirahat di goa sampai pagi hari dan kami bangun lalu kembali melanjutkan perjalanan. Bau khas tanah basah karena hujan semalam membuatku merasa sedikit lebih nyaman. Alexa berhenti, dia mengetuk-ngetuk dagunya mengingat-ingat.
"Kau lupa jalannya Al?" Tanya Calista dan Alexa hanya mengangguk dan bersandar di pohon. Bola matanya melihat keatas, berpikir jalan mana yang benar. Dan kupikir-pikir, ini sudah satu hari dan tinggal tersisa enam hari lagi untuk menemukan berlian itu.
Jdarr!
Kudengar ledakan dari arah barat, Alexa dan Calista juga terlihat menoleh kearah barat. Siapa yang membuat ledakan itu?
"Ada apa ini?" Tanyaku kepada mereka berdua yang sedari tadi matanya menajam dan kaki mereka terus melangkah maju, penasaran akan ledakan itu. "Tidak An, tidak ada yang boleh membawa bom dalam turnamen."
Aku mengikuti mereka dari belakang setelah penjelasan dari Calista. Siapa yang melakukan itu? Apa dia juga tak tahu kalau bom tak diperbolehkan dalam turnamen? Oh, harusnya aku mempelajari peraturannya dahulu. Asap yang menganggu penglihatan mulai menghampiri, pepohonan hangus karena bom itu. Tapi yang lebih mengejutkan adalah, banyak orang yang mati karena bom itu, hampir seperempat tim berada disana.
"Tidak, di turnament tidak diijinkan membunuh." Ucap Alexa gemetar, matanya takut dan menatapku lalu Calista. "Lari, kita harus lari!"
Kami langsung berlari mendengar penuturan dari Alexa, kami terus berlari entah kemana. Sesekali kulirik wajah Alexa yang masih ketakutan. Siapa yang melakukan ini?
Kami menemukan goa, goa yang ini lebih besar dari gia yang kemarin kami gunakan untuk tempat persinggahan. Alexa masih gemetaran, aku memegang tangannya dan Calista pun melakukan hal yang sama.
"Tenang Al, tenang." Ucapku dan dia menatapku geram, ada sedikit rasa kesal di matanya, kesedihan, ketakutan, kemarahan, semuanya.
"Tidak An! Tidak! Aku takut dengan bom, karena bom membunuh kakakku." Ucapnya terisak yang membuatku dan Calista memeluk dan mengelusnya.
Siapa yang melakukan itu? Bahkan seperempat dari seluruh tim yang mengikuti turnamen nyawanya terenggut karena bom itu.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
ACADEMY [END]
FantasyAnna tidak pernah berpikir bahwa ia bisa bersekolah di akademi elemen yang terkenal itu. Ia tidak tahu mengapa dirinya yang bahkan sangat lemah dalam memakai elemen bisa masuk dan belajar di sana. Hingga akhirnya, kebenaran sedikit demi sedikit terk...