We?

12.9K 1.2K 43
                                    

Part 1 : Broken

Aku membuka mataku, remang-remang cahaya berusaha masuk dari celah-celah gia. Kuedarkan pandanganku untuk mencari Alexa dan Calista. Aku mengubah posisiku menjadi duduk dan bersandar di dinding goa, Alexa dan Calista tidak ada disini. Tas mereka juga tidak ada.

Aku bangkit, mengambil tasku dan berjalan keluar goa. Matahari belum meninggi, kemarin aku, Alexa, dan juga Calista hanya duduk disini. Alexa takut dengan bom dan membuat kita beristiharat satu hari untuk perjalanan. Aku berjalan, sesekali memanggil nama mereka.

"Alexa?! Calista?!" Tak ada yang menyaut, membuatku berkali-kali memanggil mereka. Sunyi, hutan begitu sepi. Apakah masih ada tim lain? Kicau burung bahkan tak terdengar, hanya suara hembusan angin yang begitu sunyi. Pepohonan menjulang tinggi, kini beralih menjadi padang rumput liar yang bahkan tingginya sampai sepinggangku. Sungai mengalir deras diujung sana, apakah aku masih berada di daerah turnamen?

Langkahku terhenti, melihat seorang perempuan dengan rambut sebahu yang tergeletak di dekat sungai. Darah mengalir dari pelipis juga bahunya. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kurasakan denyut nadinya, masih berdenyut. Wanita ini masih hidup dan dia juga masih memakai jam tangan milik akademi. Dimana tim medis? Apa aku harus membawanya? Bagaimana ini? Kucoba berpikir sejenak, ini hutan dan pasti ada tanaman obat di sekitar sini. Mungkin itu bisa sedikit membantunya. Aku bisa mencari Alexa dan Calista untuk membantu membopongnya dan keluar dari turnamen ini. Aku rasa, ada yang aneh dengan semua ini. Aku berlari, segera masuk kedalam hutan lagi dan sesekali berteriak memanggil Alexa dan Calista. Napasku tercekat, lagi-lagi ada bom yang memporak-porandakan semuanya. Tidak, tidak ada korban tapi menghanguskan banyak pepohonan.

Deru napasku tak beraturan, aku takut.

Duar!

Suara ledakan lagi-lagi terdengar membuatku berlari untuk mencari tempat berlindung. Bagaimana dengan perempuan di dekat sungai itu? Tidak, aku tidak boleh berlindung sekarang, aku harus mencari seseorang untuk menyelamatkannya.

Duar!

Suara ledakan lagi-lagi terdengar entah dimana, semuanya kacau. Apa ini yang dimaksud turnamen itu? Apa ini bagian dari perlombaan ini?

"Itu dia!" Suara seseorang membuatku menoleh, sekitar ada sepuluh panitia akademi dan seseorang menunjukku. Aku tersenyum senang, apalagi saat mengetahui bahwa perempuan didekat sungai tadi telah dibopong.

"Dia yang mengebom hutan ini! Kalian melihatnya 'kan tadi?"

Aku? Aku yang mengebomnya? Itu tidak mungkin. Aku saja ketakutan. "Aku? Aku bukan pelakunya."

"Pembohong, kami melihatmu persis dengan pakaian yang sama dan rambut seperti itu milikmu, kau harus dibawa." Suara serak dari salah satu panitia membuat yang lainnya mencengkram tanganku dan membawaku secara paksa. Aku bukan pelakunya. Tanganku diborgol, aku diseret secara paksa dan keluar dari hutan. Kulihat orang-orang memandangku, aku salah apa? Semua orang disana, semuanya sudah berada di luar, termasuk Alexa dan Calista yang sedang duduk dan menatapku sendu. Beberapa orang menangis, mungkin akibat bom itu. Tapi jujur, bukan aku yang melakukannya.

Kurasakan diriku dilempar di hadapan Miss Flerd Serena, dia menatapku tajam dan berjongkok untuk melihat wajahku karena aku terduduk di tanah. Tangannya mencengkram daguku.

"Mengapa kau melakukannya?!" Bentakan Miss Serena membuat semuanya menatap kearah kami, disana aku juga melihat Nalu dan Louis. "Aku tidak melakukan apa-apa."

Plak! Dia menamparku, membuat yang lainnya terkejut. Aku menitikan air mataku, memangnya aku salah apa?

"Kau tahu kalau di turnamen tidak diperbolehkan membunuh! Mengapa kau mengebom hutan?" Napasnya kini lebih lemah, dia menitikan air matanya. Kurasa dia juga terguncang, banyak mayat disini. Semuanya adalah murid akademi. Namun, bukan aku pelakunya!

"Bukan aku!" Teriakku lantang, Miss Serena menatapku nyalang. Setelah itu menatap tas punggungku yang lusuh. "Periksa tasnya."

Seorang lelaki bertubuh kekar membuka tasku, menumpahkan semua isinya ketanah. Dan terkejutnya aku, bom, peluru, dan pistol kecil berada di dalam tasku, dan yang terakhir, berlian cantik yang kutahu pasti harganya mahal. Aku tidak membawa semua itu!

"Itu, itu bukan barang-barangku! Aku bahkan tidak membawa itu semua!" Teriakku, tidak mungkin, ini semua tidak mungkin terjadi. Lagi-lagi Miss Serena menampar pipiku. Wajahnya terlihat kesal padaku, tapi aku benar-benar tak tahu semua ini. Kumohon, kumohon kalau ini tak nyata.

"Berhenti Miss! Anna tak mungkin melakukan itu, dia juga tak mungkin mencuri berlian itu, pasti ada yang menyabotase!" Nalu berteriak lancang membuatku tersenyum, dia membelaku. Dia membelaku. Dia membelaku.

"Benar, kuharap Miss tidak gegabah, Anna tak mungkin membunuh orang sebanyak ini tanpa tujuan yang jelas." Kali ini Louis unjuk diri, dia membelaku sama seperti Nalu.

"Miss, Anna tidak mungkin melakukan itu" Ucap Alexa.

"Benar Miss, beberapa hari ini kami bersamanya, lalu kami pergi keluar karena ada panitia yang memanggil kami kalau tuurnamen dihentikan, kami berkata kalau masih ada teman kami dalam goa, dan salah seorang panitia berkata akan mengurusnya." Calista membenarkannya, aku tersenyum kecut. Miss Serena menangis tersedu.

"Tapi salah satu yang meninggal karena bom itu adalah anakku! Dan kalian sudah melihat bahwa dia membawa bom dan semua senjata ini bukan?! Apalagi dia juga mencuri berlian yang merupakan hadiah turnamen ini."  Ucap Miss Serena, napasnya tak beraturan, aku yakin dia pasti terguncang karena kepergian anaknya.

"Bawa dia ke penjara sebelum aku menentukan." Lanjutnya membuat dua orang menarik tanganku kencang untuk berdiri dan membawaku. Bukan, bukan aku pelakunya. Aku tak mengebom hutan, aku tak mencuri berlian, aku tak membunuh siapapun.

Aku dilempar kedalam penjara yang gelap ini, tanganku yang tadinya diborgol kini dilepas, tapi digantikan dengan borgol rantai yang ujungnya berada ditembok dan mempersempit ruang gerakku. Kakiku juga diborgol. Apa yang akan aku dapatkan setelah ini? Aku bahkan belum tahu wajah pembunuh ibuku, aku bahkan tak tega membalaskan dendamku karena itu adalah ayah Nalu. Apa salahku?

-

"Anna?" Seseorang memanggilku dari luar penjara membuatku menoleh. Louis, dia datang dengan senyum masamnya yang ditunjukan padaku. Matanya sendu, seolah mengerti bebanku. "Anna, aku yakin kau takkan melakukan semua itu, tapi beritahuku aku, siapa orang yang mencurigakan menurutmu?"

"Aku tidak tahu, saat aku bangun, Alexa dan Calista sudah tidak ada dan aku mencari mereka." Jawabku dan Louis bernapas kasar. Rambutnya berantakan, mungkin sama seperti rambutku kini yang sama acak-acakannya.

"Tunggu, kau sendirian? Bukankah tadi Calista berkata kalau ada penjaga yang akan mengurusmu?" Aku terkejut mendengar perkataannya, benar, benar sekali. Namun, siapa penjaga itu?

"Itu benar, tapi bagaimana caranya aku mencari tahu?" Tanyaku dan Louis tersenyum.

"Tenang, aku dan Nalu akan mencarinya, tenang saja." Ucapnya tersenyum hangat, entah kenapa aku selalu terbuai oleh senyumannya. Rasanya, aku selalu nyaman jika berada didekatnya.

"Kau bekerja sama dengan Nalu?"

"Tentu, hanya untukmu, lagipula aku masuk ke sel ini juga karena bantuannya yang mengalihkan para penjaga dan malah mengajak mereka mengobrol dan minum teh." Louis terkekeh, aku senang mendengarnya.

"Dengar Anna, aku harus segera kembali, dan kau pasti akan baik-baik saja, aku janji."


[]

ACADEMY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang