Part 1 : Louis Oxel
Aku berjalan pelan kearah tikar kecil yang tiba-tiba disiapkan Pangeran Louis. Dia memanggil pelayannya lewat perantara elemen. Ia juga bilang ingin piknik bersamaku. Aku setuju saja, menurutku ini sembari mendapat makanan gratis daripada aku harus ke ruang makan dan dipaksa Nalu untuk memakan sayuran lagi.
"Pangeran, kau seharusnya tak usah repot begini." Ucapku dan dia tertawa entah apa yang lucu. Kulihat parasnya yang begitu tampan, dia mancung dan juga rambut coklatnya yang begitu cocok.
"Wajahmu lucu, ah iya kau punya elemen apa?" Tanyanya membuatku bingung.
"Aku tak punya elemen." Ucapku membuat dia menyemburkan air saat dia baru saja meminum segelas air putih.
"Haha, kau bercanda." Aku hanya menunduk, ternyata dia pun tak percaya dengan semua itu. Tidak ada yang percaya keanehan ini. Apa saat elemen disebar, aku ketinggalan? Tidak mungkin, itukan otomatis secara keturunan.
"Maaf, tapi aku yakin kau akan mendapatkannya jadi jangan khawatir dan tetaplah bersamaku." Ucapnya dengan senyum yang mengembang, kenapa dia suka sekali tersenyum? Maksudku orang-orang bisa diabetes bila melihat senyumnya yang selalu manis dan menawan.
"Kenapa?"
"Tidak tahu, aku hanya ingin bersamamu, mungkin ini sebuah pertemanan?"
Teman? Aku, tak pernah mendengar ucapan itu. Tak pernah ada yang mau menjadi temanku. Aku hanya orang miskin yang bahkan tak punya elemen untuk dibanggakan.
"Eh? Jika pangeran berteman karena merasa kasihan padaku itu sebenarnya tidak perlu, meskipun pangeran adalah pangeran yang harus baik kepada rakyatnya, tapi tidak harus kok sampai seperti ini, ah iya aku sepertinya harus pergi karena teringat kelasku ya ampun!" Ucapku panjang lebar setelah itu membungkuk. Dia hanya mematung mendengar ucapanku.
Teman ya, apa itu teman?
-
"Kau ini seperti mawar, begitu berduri tapi indah di satu sisi." Ucap ayah membuatku menangis meskipun permen gula masih ada di genggamanku. Seakan bahagia, ayah tersenyum meskipun seluruh bagian tubuhnya hampir tertutup oleh luka.
"Lihatlah, anak itu kasihan ya."
"Iya, kudengar dia juga tak punya elemen?"
"Hahahah, sudah miskin tak punya ayah dan tak punya elemen."
"Hahahahah"
Kenapa? Kenapa mereka tak menolong ayahku? Kenapa mereka hanya menertawakan ayahku? Ayahku bukan pengkhianat. Ayahku, bukan mata-mata Kerajaan Dert! Kenapa semua begitu jahat? Kumohon, hentikan perang ini, kumohon satu orang bantulah ayahku yang sudah memenjamkan matanya itu.
Kulihat ibu, dia menangis tak karuan melihat ayah yang seperti ini. Kenapa semuanya, hanya tertawa?
Aku mohon....
Bantulah ayahku.....Bahkan, Calista temanku hanya menatapku dengan boneka panda di genggamannya. Kukira, kami berteman.
-
Tidak! Aku sudah tidak ingin mengingat itu lagi, tapi kenapa ingatan itu selalu melintas di mimpiku? Kenapa? Kenapa harus aku?
Tanpa sadar, air mataku menetes.Menggeleng, aku melihat jam meskipun ini hari libur. Tujuh pagi. Masih bisa untuk berolahraga sebentar dan kurasa aku harus berlatih pedang. Aku bersiap dengan pakaian olahraga yang memang sudah tersedia beberapa setel. Aku aneh, semuanya tersedia. Maksudku, pakaian, kamar, makanan, tidakkah asrama ini terlalu baik?
Setelah semua siap, aku berlari pelan di lorong sampai ke taman asrama yang sedikit ramai orang berolahraga. Atau, hanya ingin bersantai menikmati hembusan angin?
"Anna." Seseorang memelukku tiba-tiba, dan spontan saja aku berbalik dan memukul orang itu bertubi-tubi.
"Aduh Anna, ini aku Nalu." Ucapnya dan aku baru tersadar akibat pukulanku, wajahnya agak sedikit yah kalian tahu kan?
Aku menyuruhnya duduk di bangku taman dan segera berlari ke UKS sekolah untuk mengambil kotak P3K. Meskipun aku tak memiliki elemen, tapi setidaknya aku tahu sedikit tentang medis. Dan yah, bibir Nalu berdarah karena aku. Dan lagipula, aku memukulnya tak hanya satu kali. Seharusnya aku meminta maaf dulu tadi.
Setelah mengambil kotak P3K aku pun segera berlari menuju ke tempat Nalu tadi, nampak dirinya tengah berbaring di atas bangku merah yang sedikit nyaman untuk menikmati suasana. Aku mendekat kearahnya, matanya tertutup. Apa dia benar-benar tidur? Aku mencoba mendekatkan tanganku ke wajahnya untuk membangunkannya. Kuperhatikan wajahnya yang tampan. Rahangnya yang begitu kokoh, bibir merah mudanya dan juga hidungnya yang mancung. Kenapa dia harus dekat denganku? Dia akan rugi karena berteman denganku, aku tak punya elemen, wajahku biasa saja, dan yah aku juga tak terlalu pintar.
Aku tersadar, tanganku berada di puncak kepalanya, rambutnya begitu halus saat aku mengelusnya seperti benar-benar terawat. Sopankah aku? Seperti ini pada pangeran? Buru-buru aku menarik tanganku, tapi tangannya mencegahku.
"Aku suka itu, kau bisa menempelkan tanganmu di kepalaku lagi, atau kau mau menempelkan bibirmu di bibirku?" Nalu mendekatkan wajahnya ke wajahku dengan tanganku yang masih di cengkramnya. Buru-buru aku meninju wajahnya dengan tanganku yang satunya.
"Jangan bercanda, aku tak suka itu, kurasa kau harus ke rumah sakit karena berpikiran aneh." Ucapku dan dia hanya tersenyum menyeringai.
"Semua lelaki pasti menginginkan itu, termasuk lelaki bodoh yang berdiri di belakangmu sekarang."
Aku menoleh, melihat siapa yang di maksud Nalu dengan perkataan yang ngawur.
"Pangeran Louis?"
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
ACADEMY [END]
FantasíaAnna tidak pernah berpikir bahwa ia bisa bersekolah di akademi elemen yang terkenal itu. Ia tidak tahu mengapa dirinya yang bahkan sangat lemah dalam memakai elemen bisa masuk dan belajar di sana. Hingga akhirnya, kebenaran sedikit demi sedikit terk...