[ kepingan masa lalu ]

458 12 0
                                    

Tangannya mengusap pelan pigura foto didepannya. Matanya terus menjelajah setiap sudut difoto ini. Sesekali pandangannya terhenti ketika memandang gadis yang mengenakan baju pasien beserta infusan ditangannya. Tidak lupa ada bayi kecil manis dalam gendongannya.

Seseorang memeluknya dari belakang. Memeluknya dengan lembut dan penuh cinta. Laki laki yang telah menjadi pendamping hidupnya selama ini. Laki laki yang slalu dicintainya. "Kamu udah pulang gas?" zevanna kini bertanya. Bagas mengeratkan pelukannya. "Kamu pasti kangen raya ya?". Zevanna kembali meneteskan air matanya. Mengingat setiap masa lalu nya bersama raya. Mengingat setiap kisahnya,kenangannya yang terus melekat dalam memorinya. Mengingat wajah raya ketika tersenyum,tertawa,sedih,menangis. Masih terpampang jelas dalam otaknya. "Jangan nangis ya sayang" kini bagas bersuara terus mencium puncak kepala istri kesayangannya. Zevanna melepaskan pelukannya. Memutar badannya hingga menghadap ke arah suaminya. Bagas tidak pernah bisa melihat kesedihan dari mata beriris biru itu. "Besok kan kita libur,kita ke makam raya yuk sama anak anak zev" tangan besarnya mengusap pipi istrinya. "Makasih ya gas" lalu mencium singkat bibir suaminya.

"Gas,sampai kapan kita sembunyiin rahasia ini dari zero?". Bagas teringat tentang zero yang memang bukan anak kandungnya. "Kita harus slalu jaga rahasia ini zev,kita udah janji dan kita gak boleh ingkarin janji zev". Memeluk singkat istrinya lalu pergi kekamar mereka. Zevanna terduduk dan air mata terus menetes dari matanya.

Zero terus mencerna barusan yang didengarnya. Rahasia apa?rahasia apa yang disembunyikan kedua orang tuanya? Hal apa yang tidak boleh diketahuinya?. Semua pertanyaan itu menumpuk dalam pikirannya. Dan dia harus mencari tahu jawaban dari semua pertanyaannya. Zero memutuskan keluar dari bilik persembunyiannya. Menghampir zevanna yang tengah duduk. Dengan wajah yang menunduk. "Mi? Ko belum tidur?" tanyanya polos seakan tidak mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. "Mami kangen sama raya,ro" ucapnya berusaha mengendalikan rasa kaget karna zero yang tiba tiba menghampirinya takut mendengar percakapannya dengan bagas. Zevanna menepuk sofa disampingnya agar zero duduk disitu menemaninya. Zero langsung duduk tepat disamping zevanna.

Zevanna menatap lekat putra disampingnya ini. Mata bulatnya persis mata raya. Yang slalu mengingatkannya tentang sahabat kesayangannya. Garis garis wajah yang mungkin seperti bapaknya karna tidak seperti raya. Zevanna memeluk putranya. Menangis disana. Rasa bersalah menyelimutinya karna telah membohongi identitas sebenarnya. Rasanya terus menyakitinya. Tapi ia tidak berdaya. Ini adalah janjinya dengan raya. Maafin mami ya zero. Ucapnya dalam hati.

Zero merasakan basah dirambutnya. Zevanna menangis. Hatinya terenyuh ketika orang yang disayangnya menangis. Zero memeluk erat maminya. "Jangan nangis ya mi" ucapnya pelan namun terdengar jelas dikuping zevanna.

Blenda duduk di meja belajarnya. Ada pigura fotonya bersama bryna. Ia mengenakan baju basket kesayangannya. Dan blenda yang mengenakan baju balet. Masing masing dengan piala ditangan mereka. Tersenyum menunjukka sebaris gigi putih mereka.

"Yeyyyy!!!!! Aku juala dong bly" blenda memamerkan piala di tangannya. Bryna tertawa mendengar ucapan blenda yang cadel. "Aku juga juara dong" ucapnya dengan penuh semangat. Keringat yang membasahi wajahnya tidak dipedulikannya. "Ehhh,bang zelo katanya juga juala ya bly?" tanyanya. Bryna terus mengusap pelan piala digenggamannya itu. Zero berlari menghampiri kedua adiknya itu. Dengan kamera ditangannya. "Ehhh ayoo foto dong kan kalian udah punya piala". Bryna dan blenda bersemangat. Mereka loncat loncatan. Tertawa bersama dengan abang mereka. Lalu saling merangkul dengan piala ditangan masing masing.

Klik!!!!!

Zero memfoto mereka.

Blenda kembali meneteskan air matanya. Mengingat masa kecil bersama bryna. Bercanda ria tanpa memendam rasa sakit. Dapat berbagi tanpa ada yang tersakiti diantara mereka. Tapi itu dulu.

Blenda sudah berniat akan menjauhi kembarannya. Hingga dia siap,hingga dia mampu berdiri tegar menerima pernyataan bahwa jendra mencintai kembarannya.

                                     ~oOo~

"Lo semobil sama mami dan papi karna gue gak mau semobil sama lo" ucapnya. Ucapan itu langsung menusuk hatinya. Blenda benar benar membangun tembok diantara mereka. Memberi jarak agar tidak mendekatinya. Hatinya sakit. "Okay" hanya itu yang mampu diucapnya. Lalu pergi kearah mobil papi dan maminya. Begitu juga blenda pergi ke jeep zero yang sudah siap berangkat.

Blenda duduk lalu memasang seatbeltnya. Pandangannya kosong. Berusaha menahan air matanya agar tidak menangis. Zero sedang memegang setir lalu melihat blenda yang duduk di jok depan. "Dia langsung iya in permintaan gue tanpa berdebat dengan gue" ucapnya. Zero membuang nafasnya perlahan. "Lo serius?mau ngejauhin dia?" zero berusaha meyakinkan adiknya. "Gue yakin dan bakal ngejauh dari dia bang". Zero memejamkan matanya lalu membukanya. Dan menancap gas pergi kepemakaman raya.

Wangi tanah basah karna hujan tercium jelas di penciumannya ketika keluar dari jeep zero. Blenda langsung mengenakan kacamata hitamnya lalu berjalan beriringan dengan semua keluarganya ke tempat raya dimakamkan. Zevanna duduk tepat disamping nisan yang bertuliskan nama raya. Ia terus menangis sambil mengusap nisan raya. Zero dan bagas mengusap pelan punggung zevanna. "Mami kangen sama raya,ro,cara dia tertawa pokoknya semua tentang dia mami kangen" ucapnya. "Udah mi jangan nangis" zero terus mengusap punggung maminya. Sedangkan bryna berdiri tepat dibelakang mereka. Matanya menatap blenda yang sedang menaburkan bunga didepannya. Bryna dapat melihat kembarannya ingin menangis walaupun ia menutupinya dengan kacamata hitamnya. Ingin rasanya ia memeluk blenda dan membiarkan blenda menangis dalam dekapannya.

Tapi lagi lagi ia tidak bisa.

Bryna memilih balik ke mobil dan menunggu disana.

Blenda melihat bryna yang berjalan kearah mobil. Ini waktu yang tepat. Keputusannya sudah bulat akan menjauh dari bryna. Blenda berdiri dan berjalan mengikuti bryna. Sesampainya di mobil. Bryna melihat blenda mengikutinya dari pantulan kaca mobilnya. Bryna membalikkan badannya. "Blenda?" berusaha memastikan bahwa yang diliatnya adalah kenyataan. "Masuk mobil" nadanya terdengar sarkas di telinga bryna. "Oke" lalu masuk kedalam mobil dan blenda juga ikut masuk kedalam mobil.

Suasananya sangat canggung. Sunyi tidak ada yang memulai pembicaraan. Blenda menghembuskan nafasnya secara perlahan berusaha menghilangkan rasa gugup yang menyelimutinya. "Gue gak mau basa basi sama lo,jadi intinya stop buat deketin gue karna semuanya udah gak kaya dulu".

Bryna diam mematung. Rasanya tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Blenda benar benar akan menjauhinya. Membangun tembok diantara mereka. "Apa alasan lo?" kini suaranya terdengar gemetar menahan tangis. "Lo gak perlu tau" blenda membuka pintu mobil sebelum menutupnya blenda memandang sodaranya itu.

"Mulai sekarang kita adalah dua orang asing yang tinggal satu rumah". Lalu menutup pintu mobilnya.

Bryna menangis. Rasanya terasa sesak mendengar ucapan terakhir blenda. Ucapan itu langsung menusuk hatinya. Ia benar benar kehilangan sodaranya. Kembarannya. Tidak ada blenda yang merengek karna ulahnya. Tidak blenda yang terus mengusiknya dengan kemanjaan. Sudah tidak lagi.

Dan Bryna benci suasana seperti ini.

Blenda and BrynaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang