Chapter 17 - Rest Time

88 7 2
                                    

Ada sebagian dari perasaan yang tidak mampu merelakan, meski yang tertinggal hanya sebuah kesakitan. -TKC

💮💮💮

Satu hal yang membuat para pelajar senang ialah ketika lonceng istirahat berbunyi lebih cepat dari biasanya. Ketika suara bel pulang yang berbunyi ya beda lagi, pasti bunyi bel pulang lebih diminati ketimbang bel istirahat.

"VE! LU KEMANA AJA, SIH?!" Sungut Alena menyeramkan. Dia seperti sedang berbicara dengan musuh. Keterlaluan. Untung saja dia sahabatku sehingga aku masih bisa memaklumi segala perbuatannya itu.

"Biasa saja ngomongnya. Lu kalo kangen aku ya bilang saja lah enggak usah marah-marah." Sesekali aku berbicara dengan kepercayaan diri yang tinggi. Sebut saja aku sedang ke-pede-an saat ini.

"Iya lah, gua jujur gua kangen elu." Alena menyatakan kerinduan dirinya terhadapku dengan ketidakrelaan. Malu-malu kucing maksudnya.

"Kata kakak elu katanya lu ijin selama lima hari kemarin karena kalian ada acara keluarga diluar kota." Lanjutnya ia bicara.

Oh, ternyata perlakuan seperti ini yang mereka lakukan. Pembohong.

Sudah kuduga, waktu itu Alena bukan tidak perduli denganku melainkan ia tidak tahu kejadian sebenarnya yang telah menimpa aku selama lima hari kemarin.

"Ehm ... iya, acara keluarga yang menyakitkan." Aku katakan iya padanya seraya mengangguk-angguk mengerti.

"Maksud lu? Menyakitkan?" Tanya Alena sewot dengan suara yang diperbesar melebihi kapasitas volume wajar. Biasanya orang-orang seperti kita berbicara dengan volume 4, dia berbicara melebihi batas wajar dengan volume 20. Enggak kira-kira banget kalau ngomong. *Tepuk jidat*

Dikarenakan Alena orangnya nyablak banget, enggak beres, maka aku pikir aku harus mengajak Alena ke kantin bibi Cici yang berjongko dekat UKS Sekolah.

"Gak enak sama orang lain kalau kita ngobrol sambil berdiri disini. Otw kantin, yuk! Ngobrolnya disana, sekalian makan."

Alena mengangguk setuju.

Sesampainya di kantin, diceritakan sudah segala macam bentuk peristiwa menyedihkan yang aku alami kepadanya kecuali tentang Papah Farid. Aku sih fine-fine saja tetapi malah dia yang menangis seolah merasakan bagaimana menjadi diriku.

"Gua g.. g.. gak bisa bayangin ka.. ka.. kalo nyokap bokap gua selama i.. i.. ini misalnya orang tua tiri gua, s.. s.. sama kayak elu, Ve. G.. g.. gak mau." Gaya bicaranya sudah mirip dengan Azis Gagap. Oh, mungkin Alena kembarannya kali ya. Cocok. "M.. m.. mung.. mungkin gua g.. gak mau ada di dunia ini lagi k.. k.. kalo gua harus hidup s.. s.. sama nyokap tiri.. bokap tiri.. kakak tiri.. adik tiri.. pembantu tiri.. pembantu tiri, ada gak, sih?"

"Enggak lucu." Kataku menepuk tangan satu kali. "Al, kok lu lebay gitu ya. Aku yang ngerasain tapi elu yang nangis."

"T.. t.. t.. tapi, kan? Punya k.. k.. keluarga tiri itu s.. sa.. sakit hati. A.. apalagi k.. ka.. kalo kita baru di.. di.. dikasih tahu." Terus saja Alena menangis disertai ke-lebay-an-nya yang semakin menjadi-jadi.

"Gini, Al. Terkadang suatu kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi yang kita bayangkan. Kita maunya ini, tapi nyatanya dapet itu. Kita maunya itu, tapi kenyataannya dapet ini. Tidak apa-apa, tidak ada yang salah. Setidaknya kita bisa belajar dari pengalaman yang enggak ada manis-manisnya itu. Ya, belajar menerima apa yang seharusnya ada pada diri kita, walaupun kita tidak menyukainya sama sekali. Toh semua kenyataan apapun itu datangnya dari Allah, maka kenyataan itu lah yang terbaik untuk kita. Allah tahu apa yang pantas dan tidaknya untuk kita. Kita sebagai hamba-Nya ya harus menerima apa pun kehendak-Nya."

Pecandu RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang