Chapter 22 - Happy or Sad?

99 5 2
                                    


Terkadang kita harus merelakan dia pergi, walaupun kita menginginkannya untuk tetap disini.

💮💮💮

           Pagi yang berkesan sangat menyakitkan. Menusuk hati yang hancur berkeping-keping. Tadinya aku akan meminum kopi sendirian. Tapi ternyata banyak orang datang memasuki rumahku yang berkibar janur kuning.

           Kedua orang tuaku sudah tiada, semua harapanku untuk membahagiakan mereka telah musnah sia-sia. Tiada lagi perwujudan untuk membuat mereka tertawa, yang tersisa hanyalah do'a yang akan selalu menyertainya. Hanya do'a.

           Apa kamu tahu tentang tiga macam amalan yang tidak akan putus pahalanya sampai hari kiamat?

Pertama: Shadaqah jariyah; memberikan sesuatu (uang/barang) yang bermanfaat untuk kepentingan agama. Contohnya, memberikan sejumlah uang untuk pembangunan mesjid.

Kedua: Ilmu yang bermanfaat; mengajarkan ilmu (baik bersifat duniawi atau agamis) kepada seseorang, kemudian seseorang itu mengajarkannya (lagi) kepada seseorang lainnya.

Ketiga: Anak shaleh/shalehah yang selalu mendo'akan kedua orang tuanya.

           Mah, pah, do'a ku akan selalu menyertaimu. Aku harap do'a ku sampai pada-Nya supaya kalian tenang di alam sana. Dan semoga amalan ini akan terus mengalirkan pahala. I love you.

💮💮💮

           Sahabat, tetangga dan teman-teman panti asuhan Al-Karim datang ke rumahku untuk melayat almarhum, papahku. Kehadirannya membuatku merasa sedikit tenang.

Alena hadir sebagai tamu pertama di rumahku ini. Dia tidak banyak bicara melainkan mengeluarkan tangis gempar yang mewakili seluruh isi hatinya, seperti biasa.

"Ve, turut berduka cita," ujar Jigar mengelus-elus punggungku. "Aku mengerti perasaanmu saat ini. Aku tahu ditinggalkan orang yang kita cintai itu rasanya berat. Cepat atau lambat, kematian itu pasti terjadi. Tapi aku yakin bahwa kamu adalah cewek yang kuat, enggak cengeng."

:')

"Makasih, Gar. Kamu sudah menyempatkan waktu untuk datang ke sini," kujawab. "Makasih juga sudah mengerti apa yang aku rasakan sekarang."

           Tak lama kemudian, Zero datang berlari menghampiriku, "Ve? Kenapa kamu enggak cerita sama aku kalau papahmu itu sakit keras? Aku bisa membantu pengobatannya. Sebenarnya apa yang telah terjadi?"

Zero, kamu siapa? Apa aku harus menceritakan segalanya padamu? Menceritakan tentang kehidupanku padamu? Kamu tidak perlu tahu akan hal itu. Biarkan saja aku memendamnya sendiri.

Ingin sekali menjelaskan seperti itu kepadanya.

"Tidak. Tidak apa-apa," kata-kata ini sudah tidak asing lagi; sebagai cara untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

"Kamu yakin? Papahmu tidak apa-apa? Pasti ada ses ... "

"Zero, sudah," tegur Jigar menghentikan Zero bicara.

"Baiklah."

           Apa yang dulu aku katakan kini terkabul. Pintu rumahku akan selalu terbuka untuk teman-teman panti. Dini hari menjadi kenyataan yang tak terduga. Di dalam bayangan, aku kira aku akan bertemu dengan mereka dalam suasana berbahagia. Tapi tidak. Ternyata bayangan itu meleset tidak seperti seharusnya.

Pecandu RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang