"This time i'm coming up for air" Air - Shawn Mendes.
***
Bel istirahat berbunyi. Ini merupakan momen yang di nanti-nantikan oleh siswa kebanyakan setelah bel pulang sekolah. Hemm.. Nyanyian syurga.
"De, ke kantin?". Tawar Iksan. Teman sebangku Adek. Adek mikir lalu, setuju dengan ajakan Iksan.
"Aih, tumben. Nggak bawa bekal, De?".
"Nggak, San". Mereka pun langsung menuju ke kantin.
"Huuu.. Rame". Adek melotot. Dia kaget, dia baru tau kalau kantin bisa serame ini.
"Kaget, De? Hahaha. Jarang ke kantin yeee". Ledek iksan. Yang diledek malah buang muka.
"Yaudah, sini duit lu. Gue yang beliin. Lu tunggu aja di kelas". Adek mengiyakan perkataan iksan. Ia putar haluan pulang ke kelas.
"Aku sepertinya harus ke sana". Gumam Adek sendiri.
Tttrrrrttt
Adek merasakan saku celananya bergetar lalu, langsung mengambil benda kotak itu.
"Ha..sudah ku duga. Pasti dari ketua club. Aku harus balas". Adek yang begitu asik memencet tombol di benda kotak itu tidak sadar telah membuat seseorang terjatuh.
Bruuukkk.
"Ah, ma..maafkan saya. Saya-".
"Nggak, nggak apa-apa, kok. Aku yang salah. Jalan sambil nunduk hehe". Della menepuk-nepuk lututnya yang sudah merah. Della belum sadar. Bahwa yang menabraknya adalah Adek karena Della masih menunduk. Adek diam dengan raut muka datar. Mukanya boleh datar tapi, di otaknya pasti sudah banyak pertanyaan dan tanda tanya.
Pasti ada sesuatu lagi.
Pikir Adek saat ini. "Kak Della".
Della menegang di tempat. Dia kenal suara ini. Dia tau. Della pun mendongakkan kepalanya. Ingin melihat, apa benar ini suara orang itu. Dan kenyataannya, iya."Ka..kamu". Tunjuk Della dengan jari telunjuknya. Yang ditunjuk malah diam. Masih menelisik wajah yang menunjuknya itu. Lalu, dapat di tarik kesimpulan. Bahwa barusan telah terjadi sesuatu.
"Habis nangis, kak?". To the point. Adek orangnya nggak suka yang basa-basi.
"Hah..". Della dengan kasar menghapus jejak air matanya. Hingga membuat sekitaran lingkaran matanya seketika memerah. Adek langsung mencekal lengan itu cepat. Untuk menghentikannya sesegera mungkin.
"Jangan. Ntar lecet". Kata Adek dengan raut muka yang beda lagi. Sedikit cemas namun, tidak terlalu. Masih dalam mode cool nya.
"...". Della hanya diam sambil menatap orang yang ada di depannya. Terpana? Mungkin sedikit. Tidak bisa di pungkiri. Adek benar-benar tampan. Della seketika memerah. Adek pun melihat perubahan warna pipi itu. Lalu, muka Adek pun ikut memerah. Adek lalu menunduk cukup dalam. Dengan perlahan mulai menarik lengan putih itu menjauh dari kelasnya. Yang di tarik malah tak memberontak apalagi menolak, tidak.
Tidak ada pembicaraan selama mereka menelusuri koridor sekolah. Mereka sibuk dengan detak jantung mereka yang tidak dapat di kendalikan. Mengatur nafas mereka masing-masing agar tidak mengeluarkan suara dengan getaran aneh. Takut dikira grogi.
Della bingung. Kenapa dia mau ikut dengan Adek. Padahal, Della tidak tau mau di bawa kemana oleh Adek. Tapi, saat ini pikirannya tak lagi jernih. Della malu setengah mati. Kenapa bisa matanya jelalatan. Melihat setiap inci dan lekukan wajah orang lain.
"Bodohh...". Ringis pelan- sangat pelan Della. Hingga seperti gumaman.
"Kak, sudah sampai". Della sadar dari imajinasinya. Lalu, mendongak melihat ke depan. Ini sebuah ruangan.