9¦ Hati Yang Tersakiti (a)

141 10 4
                                    

[ Deva's POV ]

"Dev, ada berita penting!" ucap kakak gue serius. Pake banget.

"Apaan?"

"Kakak sudah jadian sama Kei!" kata kakak sangat bahagia. Kini dapat gue lihat tubuhnya seakan di penuhi cahaya. Tanpa kakak sadari cahaya itu perlahan menyakiti hati ini.

"Anu-- s-selamat ya, kak"

Kini gue seolah-olah bahagia dihadapannya. Sakit. Itulah yang gue rasakan kali ini. Dan juga dada terasa amat sesak. Rasanya, aku akan hancur. Hingga akhirnya cairan bening mengalir melewati pipi ku ini.

"Lo kenapa, Dev?" tanya Kak Revan.

"Eng-- gak kok, gue bahagia aja sama lo. Selamat ya udah gak jomblo lagi. Oh- iya tadi Papi nelfon gue, katanya gue gak boleh pulang malam-malam dan kakak juga harus makan. Jangan lupa pulang ke rumah!!" Ucap gue sambil menghapus air mata.

"Iyaiya, kayak emak-emak aja lo. Tapi kalo urusan pulang, lain lagi ceritanya" kata kakak sambil tersenyum tipis.

"Masih belom bisa nerima Papa gue? Udah santai aja kali, yang penting elo sesekali pulang ke rumah. Jangan seperti bang toyib yang gak pulang-pulang. Kasihan Papi selalu menangis merindukan anaknya" ucapku terkekeh.

"Lah, lo kan juga anaknya." elak Kak Revan.

"Tapi lo anak kandungnya" jawab gue cepat.

"Iya iya, Tapi--" kata Kak Revan menggantung

"Tapi apa?"

"Tapi sebelum lo pulang g-gue minta maaf, yah. Selama ini lo udah ngelakuin apa yang gue mau" lanjutnya.

"Udah gak usah dipikirin" kataku sambil mengepalkan tangan.

~

Sesampainya di rumah, gue langsung bergegas menuju kamar dan melepaskan seluruh kesedihan gue. Gue hanya bisa menangisi apa yang sudah terjadi.

Tok...tok...tok...

"Deva, kamu kenapa?" Tanya seseorang dibalik pintu kamar gue. Dari suaranya saja itu sudah pasti Papi.

Gue sedih Papi, anakmu si Revan sudah jadian sama Kei, batinku.

"Gak kenapa-kenapa kok Papi" ucap gue sambil cepat-cepat menghapuskan air mata dari wajah gue. Gue melangkah kearah pintu dan membukanya sedikit. Dapat gue liat Papi berdiri di depan pintu kamar sambil mengepalkan tangannya di depan dada sebagai tanda khawatir.

"Kenapa Deva pulang-pulang menangis? Apa ada maslah?" tanya Papi lembut.

"Anu- itu-- anu... i-iya" jawab gue.

"Memang kenapa? Deva gak mau cerita sama Papi?" tanya Papi penuh selidik.

"Enggak apa-apa kok Papi. Deva hanya sedih saja, mungkin perlu sendirian aja dulu" kata gue, yang enggan untuk bercerita. Masa iya, gue cerita ke Papi kalo gue suka sama Kak Revan. Gak mungkin!

"Pasti tentang Kak Revan, ya?" tanya Papi sekali lagi.

WTF!!

Papi selalu tau saja apa yang gue pikirkan. Mungkin papi dulu seorang peramal namun gak kesampaian. Eh, mana mungkin.

"Sayang~ mandi bereng yuk~" teriak seseorang dari bawah, siapa lagi kalau bukan Papa.

Bukan Cinta Biasa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang