Kesialan Kedua

145 10 2
                                    

"Dear Rama,

Aku di sini menantimu

Melihatmu

Menjagamu... Dari kejauhan.

Tak bisakah kau anggap aku ada?

Tak bisakah kau lihat aku?

Tak bisakah kau merasakan apa yang kurasa?

Sakit hati ini bila kulalui semuanya hanya seorang diri.

Tak punya sandaran. Hanya seorang diri.

Berjuang mendapatkanmu seorang diri.

Jika kau merasakan apa yang kurasakan...

Yakin. Kau tak akan kuat.

Karena kau tahu, berjuang sendirian tidaklah mudah."

Rain menghela napas beratnya usai menuliskan kalimat terakhir di buku hariannya. Sungguh malang gadis ini, mencintai orang yang jelas-jelas tak pernah menganggapnya ada.

Ia pun berdiri dari tempat duduk meja belajarnya dan melangkahkan kaki menuju balkon kamarnya, tak lupa ia mengambil sebuah gitar pemberian sang ayah ketika berulangtahun yang ke 17 bulan lalu yang disimpan di pojok kamar. Ia duduk bersila di atas kursi santai yang tersedia di balkon kamarnya, menarik napas dalam-dalam lalu mulai memetik senar dan mengalunlah irama lagu yang akan ia nyanyikan.

Suara hujan menuntun nyanyian indah dari bibir Rain, membawa siapapun yang mendengar ikut hanyut dalam permainan musiknya. Aroma khas tanah saat hujan turun membawa suasana damai dan menenangkan hati serta pikiran Rain yang sedang resah.

Di akhir lagu, ia tersenyum miris menghayati lirik lagu yang ia nyanyikan, betapa terkejutnya saat ia menangkap objek yang membuatnya sedikit terjengkang dari bangku yang ia duduki. Pasalnya, ia melihat seorang lelaki yang tak asing di matanya, menarik perhatiannya.

***

Pintu kamar mandi terbuka menampilkan lelaki tampan dengan kaos oblong putihnya serta celana pendek rumahan. Sederhana namun terlihat begitu tampan.

Ia menggosokkan rambutnya dengan handuk di lehernya sambil bersiul santai mengikuti alunan hujan di luar sana. Ia pun membuka gorden balkonnya untuk menikmati ketenangan hujan sore ini. Namun saat ia asyik temenung, matanya menangkap seorang gadis yang sedang duduk di balkon sembari memainkan gitarnya. Ia tak sadar dengan apa yang dilakukannya. Kakinya refleks bergerak mendekat pada pagar balkon untuk memperjelas penglihatannya. Betapa terkejutnya ia saat melihat wajah gadis itu lagi.

Gadis tadi pagi.

Namun lama kelamaan ia menikmati pemadangan ini. Hingga tanpa sadar gadis itu telah selesai bermain gitar dan melihat ke arahnya. Terlihat seperti ingin terjatuh dari bangku yang didudukinya, mungkin ia pun terkejut melihat dirinya ada di rumah tetangganya. Ia pun tersenyum geli. Gadis tadi segera masuk ke dalam untuk menyembunyikan rasa malunya dan menutup gorden pintunya.
Rion menggelengkan kepala dan tersenyum.

Ah tidak tidak.

Ia masih menikmati irama rintikan hujan dan menghirup aroma segar tanah yang terkena hujan. Ia melihat sekeliling komplek dan berpikir, mengapa ia baru sadar dan tidak pernah melihat gadis tadi sebelumnya di komplek ini? Toh rumah gadis itu tak jauh dari rumahnya, hanya berjarak beberapa meter saja di sebrang sana. Ah sudahlah. Ia tak mau memikirkan hal yang tidak penting.

Rion kembali masuk ke dalam kamar yang berisikan benda-benda astronominya itu. Lalu ia pun mengecek ponselnya untuk melihat barangkali ada notifikasi atau info kelas. Bukannya mendapatkan apa yang ia harap, ia malah mendapatkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Isinya :

OrionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang