I For You
===========================
♡HAPPY READING♡
Masih ada waktu 20 menit lagi untuk memulai pelajaran kedua. Entah mengapa rasanya Alina malas jika sudah melihat Dimas. Dirinya bertanya-tanya dalam hati, apakah Alina sudah mulai melupakan Dimas? atau Alina masih merasa kecewa karena Dimas bersikap seperti itu padanya?
Kecewa? memang dia siapanya Dimas. Seharusnya Alina tidak berhak merasakan kecewa karena dirinya bukan siapa-siapa Dimas. Alina hanya sebagai penganggum rahasia Dimas dan tidak lebih dari itu. Alina memilih meninggalkan teman-temannya tadi. Dia butuh waktu untuk sendiri, merenungkan semuanya dan memikirkan apa yang harus dirinya lakukan. Alina memilih untuk pergi ke taman belakang perpustakaan sekolahnya. Disana jarang siswa atau siswi yang berlalu-lalang. Jadi, tempat yang cocok untuk membuatnya merenung. Sejujurnya jika kalian tahu, Alina masih sangat mencintai Dimas. Hanya saja, jika melihat Dimas membuatnya berpikir dua kali untuk melanjutkan perjuangan cintanya. Bukan. Bukan karena Alina sudah tidak lagi mencintai Dimas. Tapi, setiap kali dirinya mencoba bertahan, segala rintangan semakin berat untuk dilakukan. Alina masih seorang perempuan. Dirinya masih punya rasa lelah jika mengejar sesuatu secara berlebihan yang belum tentu nantinya akan ia dapatkan. Alina menundukkan kepalanya dan membiarkan matanya melihat kearah sepatunya. Gadis itu menghela nafasnya panjang.
"setidaknya, jika memang Dimas 'ngga cinta sama gue kasih gue pertanda biar gue berhenti saat ini juga untuk berjuang," air mata yang ia tahan sedari tadi lolos begitu saja tanpa permisi. Dia tidak bisa lagi menyembunyikan rasa sakitnya.
"Dimas, gue mohon sama lo. kasih gue pertanda kalo emang lo 'ngga cinta sama gue dan kasih gue pertanda juga kalo emang gue harus berhenti untuk semuanya,"
"lo tau? bertahun-tahun gue cinta sama lo, bertahun-tahun gue berjuang dan selalu optimis kayak orang gila, berpikir kalo suatu saat lo akan merasakan hal yang sama seperti yang gue rasain sampai sekarang ini. Mungkin permintaan gue udah terlalu banyak kali ya sampai-sampai Tuhan susah untuk menjawab semuanya. Takdir 'ngga memperbolehkan gue untuk milikin lo Dimas. Lo, cuma angin yang bisa gue rasakan tapi 'ngga bisa gue genggam. kayaknya buat ngejar lo doang susah banget ya. Berasa gue ngerjain soalnya albert enstein tau ga,"
Alina masih tetap dalam posisinya. Menunduk dan melihat kearah tali sepatunya yang terlepas. Dia tidak berniat sama sekali untuk mengikatnya, menurutnya saat ini membenarkan tali sepatu tidak penting. Dia harus mendapat jawaban saat ini juga. Dia tidak mau untuk terus-terusan mengejar hal yang tidak pasti.
"Dimas, jangan lari dong,"
"lo jalan aja gue 'ngga sanggup buat ngejar apalagi lari,"
Tanpa Alina sadari, sedari tadi ada seseorang yang memperhatikan aksi monolognya. seseorang yang melihat itu tersenyum. Entah tersenyum dengan maksud apa. seseorang itu bukannya tidak ingin menghampiri Alina, tapi dia ingin mendengar lebih jauh lagi apa yang gadis itu katakan. Entah mengapa mendengar ucapan Alina membuat hatinya sakit plus senang. Disisi lain dia merasa sakit sangat sakit karena membiarkan gadis yang disukainya merasakan hal itu. Tapi disisi lain, dia senang karena ternyata gadis yang disukainya menyimpan rasa yang sama terhadapnya. Dan seseorang yang memperhatikan Alina sejak tadi ialah,
Dimas.
Alina melihat jam tangan dipergelangan tangan kanannya. Sudah 18 menit dia merenung dan Alina belum mendapatkan jawabannya. Mungkin memang itu artinya dia harus berhenti saat ini juga. Melupakan semuanya, dan menganggap bahwa perjuangannya sudah cukup. Gadis itu segera berdiri dari tempat duduknya dan menuju kelasnya sekarang juga dalam waktu dua menit. Karena jika tidak, dirinya akan habis saat ini juga karena membersihkan toilet yang baunya akan membuat kepalanya migran.
KAMU SEDANG MEMBACA
I For You
Teen Fiction"Sampai kapan lo peka sama perasaan gue?"-Alina "Gue nggak pernah mau mencintai sahabat sendiri."-Dimas "Gue cinta sama lo melebihi cinta yang pernah ada." - Ricky ........................................................................ Hidup itu pi...