6. Pertemuan

19.4K 2K 12
                                    

Kirana telah selesai dengan persiapannya. Wanita itu berjalan menuju ruang TV dengan sebuah koper berukuran sedang di tangan. Sementara Alana juga terlhat sudah menunggunya di sana. Dengan berbekal koper berukuran serupa, gadis itu menatap ibunya yang datang. 

"Kau sudah siap?" tanya Kirana.

"Aku tidak akan pernah siap," jawab sang putri ketus dengan bibir yang mengerucut. Ia mendengkus kasar seraya membuang pandangannya ke arah lain.

"Berhentilah melakukan itu atau Ibu akan membiarkanmu tidur di jalanan!" gertak Kirana setelahnya. "Ayo berangkat. Ibu harus segera mengantarmu ke sana." Ia kembali melangkahkan kaki hingga benar-benar melewati pintu utama kediamannya, membuat Alana yang menatap itu pun mau tak mau beranjak dari posisinya dan mengekorinya di belakang.

Mereka pun segera menaiki taksi yang sebelumnya telah dipesan oleh Kirana. Tak ada percakapan berarti sepanjang perjalanan. Sesekali Kirana diam-diam melirik Alana yang duduk di sebelahnya. Sejak tadi gadis itu hanya diam saja menatap pemandangan di luar sana—dia marah, Kirana tahu itu. Ia sendiri tak ambil pusing karena toh ia melakukan semua ini untuk kebaikan putrinya. Ia tak mau rumahnya kembali kacau seperti peternakan babi karena mengizinkan beberapa orang remaja bermalam di kediamannya.

"Siapapun lelaki itu, aku harap dia tidak akan membuatku kerepotan. Oke, Alana, kau hanya perlu menginap sana di sana, tidak lebih. Hanya menginap."

Alana berusaha meyakinkan dirinya kalau semuanya akan baik-baik saja, meski isi kepalanya masih enggan berdamai satu sama lain. Sebenarnya ia bisa saja kabur dari rumah dan pergi ke rumah Mita tak peduli bagaimana reaksi ibunya, tapi di sisi lain ia juga tak mau memperpanjang masalah. Hanya lima hari dan itu tak akan lama, pikirnya.

***

"Bangunlah, sudah siang." Seorang wanita paruh baya berusaha membangunkan putranya yang masih betah berada di dalam selimut. Setelah beberapa saat lalu ia mengentuk-ngetuk pintu dan tak ada hasil, maka ia pun mengambil jalan pintas dengan menerobos masuk ke dalam ruangan itu dengan menggunakan kunci cadangan yang selalu ia simpan untuk berjaga-jaga dalam menghadapi situasi seperti ini.

"Cepat, bangun. Dasar pemalas! Bagas!" Ia memukul bongkahan pantat milik putranya yang masih terbungkul selimut tebal.

Namun bukannya segera bangun, Bagas justru semakin mengeratkan selimutnya. Dengan sekuat tenaga, Maria menyingkap untaian kain berbusa tipis yang tengah membungkus tubuh putranya hingga pemuda itu terperanjat dan menoleh padanya dengan kedua mata yang mau tak mau dipaksa dibuka.

"Cepat bangun! Mereka akan segera tiba di sini!" Maria kembali berteriak.

"Ayolah, ini masih pagi." Bagas yang masih masih belum sepenuhnya sadar itu malah menguap. Ia menatap ke arah jendela yang sepertinya sudah dibuka oleh ibunya. Seolah tak ada dosa, lelaki itu malah kembali memejamkan kedua matanya bahkan ketika ia sadar kalau sinar matahari sudah menerobos memasuki kamar.

"Astaga, Cepat bangun! Segera bersihkan tubuhmu. Ibu tidak mau tahu, lima belas menit lagi kau sudah harus berada di bawah. Paham? Cepat bangun atau ayahmu akan marah dan menarik kembali semua ucapannya kemarin malam," tegas Maria.

Terpaksa Bagas pun bangkit usai mendengar itu. Ia sempat terlihat merengut dan mau tak mau beranjak dari posisinya dengan sempoyongan, lalu masuk ke kamar mandi.

Tak lama setelahnya, bel pintu kediaman itu terdengar dibunyikan oleh seseorang. Kurang dari satu menit, Maria segera membukakan pintu. Seorang wanita yang berusia tidak jauh dengannya menyunggingkan seulas tersenyum padanya. Kemudian pandangannya beralih pada sosok gadis yang berdiri di belakang, menatapnya dengan permukaan kening yang mengerut.

Stupid Marriage (New Version) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang