Jungkat-jungkit Denganmu

183 11 31
                                    

Lembayung mendung menaungi aku yang sedang memandangmu duduk bermain diatas jungkat-jungkit di taman flora depan rumahku. Kita duduk saling berhadapan berjarak tak lebih dari lima depa dengan sebuket bunga yang kamu letakkan diatas titik tumpu jungkat-jungkit ini sebagai pemisah.

Kusesap aroma bahagia pun juga sedihmu saat kita bergantian memantul naik-turun dipermainkan gravitasi hati dan ban bekas kenangan yang menjadi alas dibawah kita. Namun, ketika mataku jatuh tertumbuk pada makna sebuket bungamu, ingin rasanya aku memanjangkan papan jungkat-jungkit yang sedang kududuki sekarang.

Masih ingatkah kamu waktu kita diskusi materi fisika SMP dulu, tentang bilamana semakin panjang tongkat yang kamu pegang dari titik tumpu maka semakin besar daya ungkitnya terhadap batu. Iya semoga kamu masih ingat karena mulai detik ini dan akan berlanjut nanti, aku akan memanjangkan papanku ini perlahan. Untuk apa? Biar aku lebih mudah mengungkit pergi segala desir tentangmu yang seperti batu. Semakin berat jika terlalu lama aku mengangkat arah pandang kepadamu.

Semakin panjang papan yang kududuki sekarang berarti kita semakin menjauh bukan? Ah, sejatinya kita memang sudah jauh - walau kuakui sejengkal pun kamu masih tak bergerak di pikiranku. Namun, terselip rahasia kecil yang kusembunyikan darimu setiap malam: aku berkhianat pada teori fisika jungkat-jungkit tadi dengan mengikis papanku hanya untuk sekedar melihat tawa-sedihmu lebih dekat saat jungkat-jungkit ini menjatuhkan ke bawah semangatmu dan juga tangis-bahagiamu lebih dekat saat kamu dipantulkan ke atas, memekik keras sebab disergap takut oleh ketinggian harap.

Dan yang perlu kamu tahu, meski begitu kelakuanku, aku berjanji (tidak) akan pernah mengikis habis papanku hingga melewati titik tumpu berhiaskan sebuket bungamu karena kutahu disitu kamu telah menaruh utuh benih hatimu dan dirinya.

Lembayung mendung langit tadi sore kini berubah menangis meneteskan jarum-jarum air matanya yang terasa menusuk-nusuk kulitku. Kamu sudah pulang dari tadi sebab sempat kudengar nada dering hatimu yang sedang dipanggil olehnya. Lalu, aku memiih pulang membawa sepotong papan jungkat-jungkit yang barusan kukikis untuk melindungi tubuhku saat melintas di bawah guyuran jarum-jarum tangisan langit.

Potongan papan berukuran dua-setengah depa ini kini kujadikan ukiran yang menghiasi dinding menjadi jendelaku yang selalu tersenyum saat melihatmu sedang asyik bermain jungkat-jungkit dengannya bersama papan baru yang sempat aku ganti semalam.

[No one knows when, where, and for who this poem was made. I just found that in ... and write it in here...]

Bacanya jangan ngos-ngosan yah 😁, tarik nafas dulu sedikit lebih panjang dari biasanya baru kalian baca😄.

(Source image : www.pulsk.com)

Katakan dengan KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang