Azka meremas rambutnya dengan kasar. Tumpukan dokumen yang berada didepannya entah kenapa-dirasa olehnya-tidak juga kunjung habis. Ya, proses pembukaan perusahaan cabang baru di kotanya tidak lah mudah. Rencana untuk memindahkan operasional perusahaan pusat yang nantinya akan dilaksanakan diperusahaan itu juga menambah pekerjaan Azka mengurus ini itu dan menandatangani ini itu. Demi untuk tetap berada di kota kelahirannya, bersama ibunya, Azka rela tidak mendapatkan tidur yang cukup demi mengurus hal itu.
Sebenarnya dia bisa saja mengambil keputusan mudah, menjual perusahaannya yang di Toronto dan membangun serta memindahkannya di Indonesia.
Sayangnya, perusahaan itu adalah nyawa Ayahnya. Kenangannya. Hanya itu peninggalan ayahnya yang penuh dengan kenangan antara Azka dan ayahnya. Mengingat bagaimana waktu yang dihabiskan mereka lebih banyak di kantor dari pada di rumah.
Azka rela berulang kali terbang ke Toronto dalam satu minggu. Setelah kejadian terakhir yang menimpa ibunya, Azka tidak akan membuang waktunya berlama-lama untuk berjauhan dari ibunya. Sebisa mungkin dia akan langsung pulang kembali ke New York.
Setelah dua bulan dari terakhir acara makan malam bersama wanita itu-Clair, kondisi Nyonya Sophia memburuk. Meskipun dirinya tidak memperlihatkan didepan Azka, tapi sebagai seorang putra, Azka menyadari kondisi ibunya.
Satu lagi yang menggelayuti pikirannya adalah beberapa hari yang lalu, ibunya terus-terusan meminta agar ia segera menikah.
Pasalnya, wanita mana yang akan dinikahinya?. Bukan berarti Azka pria yang tidak menarik minat para wanita, tetapi kesibukannya mengurusi perusahaan membuatnya menghindar dari kejaran para wanita. Baginya wanita itu masalah, membuang waktunya juga menguras rekeningnya.
Apalagi sekarang setelah Nyonya Sophia meminta Azka untuk segera menikah, tak urung hal itu membuat kepala Azka serasa botak. Kesibukan mengenai pemindahan perusahaan yang belum selesai membuatnya tidak memiliki waktu walau hanya sekedar berkenalan dengan seorang wanita.
Azka menghela nafas kasar.
Menikah tidak semudah itu. Seharusnya ibunya mengerti dan tidak mengatakan sesuatu yang justru membuat dirinya terbebani.
Dering ponselnya mengalihkan fokusnya pada benda kecil disamping tumpukan dokumen di atas mejanya. Keningnya berkerut samar ketika melihat nama Jo yang tertulis disana.
"Ada ap-" kalimatnya terhenti ketika suara diseberang sana berkata dengan panik. Azka segera berdiri dan berlari meninggalkan ruangannya.
"Azka !. Ibumu kritis !"
***
Langkah-langkah besarnya terasa kecil meskipun dirinya merasa sudah berusaha mempercepat langkahnya. Azka terserang rasa panik mendadak. Baru tadi pagi sebelum dia berangkat, ibunya masih tersenyum dan terlihat membaik-sejak dua minggu yang lalu, Nyonya Sophia dirawat dirumah sakit.
Dan demi Tuhan !. Azka bahkan ratusan kali berdo'a dalam hatinya, memantrai pikirannya bahwa ibunya akan baik-baik saja, akan segera sembuh dan memarahinya seperti biasanya.
Ketika langkah itu terhenti didepan sebuah pintu, tangannya mengambil alih kakinya. Tangan itu mengambang di udara dan tidak menyembunyikan getar samar karena ketakutan si pemilik. Tubuh Azka bergetar hebat. Memejamkan matanya sebentar dan mencoba menenangkan tubuhnya.
Klik !
Lalu, beberapa pasang mata menyambutnya. Menatapnya dengan air mata yang menggenang disana.
"Azka.."
Jo pertama kali yang bersuara. Langkah Azka pelan, mendekat dalam diam. Disana, dilihat ibunya tengah berbaring dengan selang yang bertambah-tadi pagi tidaklah sebanyak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Rose
Romance#1st Story of Series "Woman And The Rose" *** Clairyn Angelic Lozghiyo tidak pernah berpikir bahwa kekasih yang amat dicintainya harus pergi meninggalkannya. Bahkan ketika undangan indah berukir nama mereka sudah berada digenggaman tangannya. Kesed...