Chapter Dua Belas - Undangan

1.1K 84 6
                                    

Persiapan pernikahan sudah hampir selesai, semua diatur cepat dan rapi oleh Ayah Clair. Tidak lupa juga acara pertemuan kedua keluarga yang terasa begitu hangat. Nyonya Sophia dan Ibu Clair saling bercerita banyak hal. Dan yang melegakan, kondisi Nyonya Sophia semakin membaik setiap harinya.

Sedangkan Jo yang juga hadir, sibuk memperhatikan interaksi kedua keluarga tersebut. Azka mengagetkannya dengan tepukan dibahu pria itu.

"Kenapa?." Tanya Azka curiga.

Jo menarik sudut bibirnya "Kalian nikah sungguhan ya?." Ucapnya.

Azka ikut memperhatikan Ibunya yang terlihat bahagia diantara keluarga Clair. "Entahlah, aku hanya berharap Ibu tetap bahagia seperti itu." Jawab pria itu tanpa menoleh pada Jo.

Perasaan bersalah terasa semakin membesar dalam diri Azka. Jika bisa, dia memang menginginkan pernikahan sungguhan. Bukan karena wanita yang jadi istrinya nanti adalah Clair, tapi dengan siapapun asal dia bisa membuat Ibunya tersenyum bahagia melihatnya menikah. Hanya saja, pernikahan yang hanya sebatas kontrak ini, dirasa Azka amat berat untuk dijalaninya. Ada dua hal yang ditakutkan Azka, selain takut Ibunya nanti akan mengetahui bahwa dia dan Clair menikah hanya sebatas diatas kertas, dia takut bahwa dirinya tidak bisa menahan perasaannya sendiri dan malah jatuh cinta pada wanita itu.

Tanpa sadar Azka menggeleng pelan.

"Kenapa?." Jo bertanya, dia tahu jika sahabatnya itu sedang memikirkan sesuatu.

"Aku percaya takdir itu ada, tapi di antara banyak wanita, kenapa harus dia?." Tanya Azka, pertanyaan itu lebih seperti untuk dirinya sendiri.

Jo mengernyit tidak paham, "Maksudmu apa? Kau menginginkan wanita lain begitu?." Jo berusaha menangkap maksud dari ucapan Azka.

Azka tertawa pelan melirik sahabatnya. "Bukan dia, tapi aku. Aku yang takut... yaaahh... kau tahu lah. Antara wanita dan pria yang seperti itu." Azka seolah enggan mengakui dengan pasti ketakutannya.

Jo mengangguk mulai mengerti. "Mudah saja bukan?. Kau tinggal membuatnya merasakan hal sama sepertimu." Jawab Jo dengan senyum lebar.

"Ck! Kau pikir segampang itu heh?." Azka mulai kesal.

"Apanya yang gampang?." Pertanyaan itu terdengar dari arah samping mereka, tidak jauh dari tempat mereka berada Clair sudah berdiri dengan wajah penuh selidik.

Jo yang terkejut cuma tertawa salah tingkah dan kabur meninggalkan mereka berdua. Sedangkan Azka terlihat enggan menjawab pertanyaan Clair.

"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu." Ucap Clair kemudian, tidak peduli dengan sikap Azka yang terlihat jelas enggan bicara dengannya.

Terbukti dengan satu alis pria itu yang terangkat, 'Apa?'.

"Aku ingin minta tolong." Dan Azka yakin wanita itu tengah menyembunyikan rasa malunya karena meminta tolong padanya. Tapi setidaknya hal tersebut membuat Azka akhirnya membuka suara.

"Tentang apa?. Kita bicara disini?." Azka merasa apa yang akan dikatakan Clair pasti tidak ingin diketahui orang-orang yang berada disana.

Clair menggeleng, "Tidak. Ikut aku." Wanita itu mengajak Azka ke sebuah kamar yang nantinya akan ditempati mereka berdua setelah menikah.

Setelah menikah, mereka akan tinggal dirumah Azka dan Clair menyetujuinya. Mereka takut akan kondisi Nyonya Sophia yang nantinya memburuk secara tiba-tiba dan mereka bisa mengetahuinya lebih cepat jika tinggal bersama.

Azka dengan sabar menunggu Clair yang terlihat ragu untuk berbicara.

"Katakan saja, aku akan membantu jika tidak merugikanku." Kata Azka berusaha meyakinkan Clair.

"Aku.. hanya merasa bingung harus mulai darimana." Ucap Clair akhirnya.

Tapi beberapa menit kemudian wanita itu mengatakan permintaannya dan alasan kenapa Azka perlu melakukan permintaannya itu. Secara garis besar, Clair menceritakan sedikit masa lalunya yang jelas membuat Azka terkejut.

”Jadi kau ingin aku bagaimana?.” Azka bertanya memastikan.

”Aku hanya takut dia merusak segalanya. Tidak mungkin dia tidak mendengar kabar pernikahanku dan diam saja.” Ucap Clair, sedikitpun dia tidak menyembunyikan raut was-wasnya.

Azka nampak berpikir sejenak, sejujurnya dia agak kesal karena rupanya Clair masih terikat dengan  masa lalunya. Dan yang nantinya bisa jadi bumerang untuk pernikahan mereka.

”Aku akan memperketat keamanan dihari pernikahan kita. Jika kau melihatnya datang, segera beritahu aku.” Lanjut Azka kemudian.

Clair nampak agak tenang setelah memberitahu kegelisahannya beberapa hari ini kepada Azka dan pria itu mau membantunya.

Tidak banyak yang diceritakan Clair pada pria itu, hanya tentang seseorang mantan yang tidak rela hubungan cinta antara dia dan Clair pupus begitu saja. Sepertinya Azka paham bahwa ada yang disembunyikan oleh Clair dalam ceritanya, tapi Azka tidak bertanya. Sedangkan Clair tentunya bisa bernafas lega tanpa perlu mengarang kebohongan lainnya kepada Azka.

-oOo-

Diwaktu yang sama dan tempat yang berbeda...

Pria itu memegang sebuah lembar undangan yang sebenarnya tidak ditujukan pada dirinya, melainkan untuk Ayahnya. Perlahan dia meremas kertas itu dengan wajah penuh amarah.

“Aku menyingkirkan DIA demi kebahagianmu. Tapi kau justru tidak melirikku sama sekali, heh!” Ucapnya marah sambil memegang erat kertas itu seolah kertas itu adalah sosok yang harus mendengarkan kata-katanya barusan.

“Kau tidak tahu seperti apa kejamnya diriku Clair, kau sungguh-sungguh tidak tahu...” lanjutnya lagi.

Seseorang lain diruangan itu, bawahan yang baru saja mengantarkan undangan itu masih ada disana, berada tidak jauh darinya, menatapnya penuh takut. Dia begitu merasakan amarah atasannya meskipun dia yakin bukan ditunjukan padanya. Tapi dia merasa, apa yang dilakukannya dengan mengantar undangan itu kepada atasannya adalah suatu kesalahan yang fatal.

Dengan gerakan tangan pelan mengisyratkan bahwa bawahan itu boleh pergi, maka dia langsung menghilang secepat kilat dari posisinya semula. Meninggalkan atasannya yang tengah tersenyum licik dengan berbagai rencana dalam benaknya.

-oOo-

The Black RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang