PROLOG

356 101 161
                                    

Author POV

Kedua manusia berlawan jenis itu masih tetap diam, enggan untuk membuka suara. Saling menanti lawan bicaranya untuk mengawali pembicaraan kali ini. Suara rintik-rintik air yang berjatuhan menjadi satu-satunya suara yang menemani mereka. Segelas cokelat panas di hadapannya tak lagi mengepulkan asapnya pertanda bahwa cokelat panas itu sudah bukan lagi cokelat panas. Yang berarti sudah lama mereka duduk berhadapan di tempat itu.

Akhirnya sebuah helaan napas yang cukup keras membunuh kesunyian yang telah lama mencengkam.

"Kamu kenapa?" Sebuah pertanyaan itu keluar dari mulut sang lelaki. Namun tampaknya gadis di hadapannya masih enggan untuk membuka suara. Seolah-olah pertanyaan tadi bukan tertuju kepadanya.

"Kamu bisa sakit kalo hujan-hujanan, Al. Kenapa harus hujan-hujanan sih? Kenapa nggak yang lain?" Lagi-lagi suara lelaki itu terdengar.

"Karena gue suka hujan," gadis itu akhirnya membuka suara.

"Kenapa kamu suka hujan?"

"Simpel. Karena waktu di bawah hujan, nggak seorang pun tau kalo gue nangis," jawab gadis itu sambil memandang keadaan luar café.

"Dan kalo hujan berhenti? Semua orang yang liat kamu akan tau kalo kalo kamu nangis." Lelaki itu tampak menghela napas panjang, "Kamu nggak butuh hujan buat nangis, Al. Kamu Cuma butuh seseorang yang siap jadi sandaranmu ketika sedih," lanjutnya.

"Dan ketika orang itu pergi?" Tanya sang gadis tanpa menengok ke arah lelaki di hadapannya. Tangannya masih sibuk membuat coretan di kaca yang menjadi pembatas café sambil sesekali meniupkan napasnya ke arah kaca tersebut. Entah apa yang ingin gadis itu sampaikan melalui kaca tersebut.

"Enggak. Orang itu nggak akan pergi, Al. Karena orang itu aku. Dan aku akan selalu ada buat kamu."

Suasana kembali hening setelah sang lelaki selesai berbicara. Mereka kembali terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Kamis, 08 juni 2017

I'm (not) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang