Altair POV
"Mampus"
"Mati Gue"
Umpatku bersamaan dengan Alayya. Tanpa menoleh pun aku tau siapa pemilik suara itu. Pak Arman, guru fisika yang terkenal akan ke-killer-annya. Aku menatap Alayya yang tengah menghela nafas putus asa.
Dalam hati aku mengumpat merutuki nasib sial yang mendatangiku bertubi- tubi. Dan kini aku harus pasrah menghadapi kesialan hari ini. Nasib.
***
Ini bukan pertama kalinya aku masuk ke ruang BK. Tapi ini pertama kalinya aku masuk ke ruang BK dengan alasan 'Melanggar Tata Tertib Sekolah'. Aku berdiri dengan gelisah ketika menanti 'vonis' yang akan di berikan oleh Pak Arman kepada kita berdua. Kulirik Alayya yang tampak biasa saja. Mungkin karena ia sudah terbiasa.
"Kalian tau apa kesalahan kalian?" suara tegas Pak Arman membuat bulu kudukku meremang. Aku menganggukkan kepalaku pelan.
"Nggak." Aku tersentak begitu mendengar suara itu. Aku menoleh dengan cepat ke arah Alayya yang menampilkan wajah tanpa dosa di sampingku.
"Kalian membolos tanpa adanya surat izin dari guru piket. Dan tentunya itu melanggar tata tertib di sekolah," ucap Pak Arman menahan emosi. Aku tak berkutik sama sekali ketika mendengar suara itu.
"Lah, bapak ngajak saya bercanda? Kalau dapat surat izin dari guru piket, bukan bolos lagi namanya. Lagian kalau dapet surat izin dari guru piket nggak seru, Pak. Nggak ada tantangan yang bisa bikin jantung dag dig dug seer."
Aku memejamkan mataku berusaha menelan rasa takut yang semakin menggerogotiku. Entah sudah berapa kali dalam sehari ini aku menaruhkan nyawaku. Ya Tuhan aku bukan kucing yang katanya punya sembilan nyawa.
"ALAYYA! Bisa-bisanya kamu menjawab pertanyaan saya seperti itu. Dan kamu Altair!" aku semakin meremas jari-jariku menahan rasa takut yang sudah menguasai tubuhku.
"Y-ya, Pak?" jawabku gugup setengah hidup.
"Bisa-bisanya kamu ikut membolos seperti biang onar ini. Kamu ini ketua osis angkatan kalian, Altair. Harusnya kamu memberikan contoh yang baik kepada teman-teman dan adik kelas kamu. Bukan malah ikut-ikutan jadi nggak bener. Diberi racun apa otak kamu sama si Alayya?"
"Namanya juga manusia. Bisa khilaf juga lah, Pak." Badanku mendadak kaku.
Sumpah demi Dewa Neptunus yang bentuknya putri duyung tapi cowok di kartun spongebob. Itu bukan suaraku!
"Apa kamu bilang Alayya?!" ucap Pak Arman mulai naik pitam. Telunjuknya mengarah tepat di depan muka Alayya. Nyaliku semakin menciut. Aku menelan ludahku susah payah.
Wahai Bumi terbelah lah dan telan aku hidup- hidup!
"Saya bilang, saya khilaf bapak Arman yang terhormat. Kita manusia biasa yang kadang kala bisa melakukan kesalahan. Dan--"
"Khilaf itu Cuma sekali, Alayya. Tapi ini entah sudah ke berapa kalinya kamu membolos. Bahkan jumlahnya sudah tidak bisa lagi dihitung dengan jari. Dan kamu masih bisa bilang kalau kamu khilaf ?!" potong Pak Arman dengan suara mengeras di akhir kalimat.
Dapat kulihat beliau menghembuskan nafas kasar. Ibu jari dan telunjuknya memijat tulang di antara kedua matanya.
"Kalian berdua, bersihkan gudang olah raga setelah pulang sekolah. Tidak ada bantahan dan jangan coba-coba untuk kabur. Kalau kalian sampai kabur, hukuman akan bapak tambah menjadi tukang kebun selama dua minggu atau lebih," ucap Pak Arman.
Seketika bahuku lemas mendengar ucapan Pak Arman. Itu artinya aku akan pulang lebih lama dari biasanya.
"Kalian mengerti!" Seketika aku terlonjak karena terkejut mendengar suara tegas Pak Arman.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) Alone
Novela Juvenil"Kenapa kamu suka hujan?" "Simpel. Karena waktu di bawah hujan, nggak seorang pun tau kalo gue nangis" "Dan kalo hujan berhenti? Semua orang yang liat kamu akan tau kalo kalo kamu nangis. Kamu nggak butuh hujan buat nangis, Al. Kamu Cuma butuh seseo...