7. Bolos

47 12 0
                                    

Altair POV

Aku menggigit jariku cemas. Keringat dingin bercucuran di pelipisku. Ini pertama kalinya aku terlambat. Aku hanya dapat berdoa semoga Pak Satpam dengan baik hati membukakan pintu gerbang dan aku tidak terkena hukuman.

"Tumben kamu bangun kesiangan, Al. Biasanya bangunnya pagi banget, kenapa tadi malah kesiangan bangunnya? Kemarin kamu tidur kemaleman ya? Atau kamunya lagi susah tidur jadi paginya bangun kesiangan?" Tanya Bunda. Kulirik Bunda yang masih fokus menyetir. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

Bukan. Aku tidak susah tidur semalam. Justru aku dapat tidur lebih nyenyak semalam dibanding hari-hari sebelumnya. Ini dikarenakan Alayya sudah memaafkanku atas insiden memalukan itu. Dan karena maaf itu, aku dapat tidur nyenyak semalam. Sangat sangat nyenyak sampai-sampai aku bangun kesiangan. Sungguh betapa hebatnya kata maaf dari Alayya.

Atau ini karma karena sudah melihat 'benda keramat' milik Alayya? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku berusaha menyikirkan pikiran tentang 'itu' dari otakku. Aku dapat melihat Bunda yang tengah tersenyum menenangkan di sampingku.

"Udah, enggak apa-apa. Udah kejadian juga. Lagian ini juga pertama kalinya kan? Asal jangan di biasain aja bangun kesiangan kayak tadi," ucap Bunda.

"Iya Bun. Al janji deh ini terakhir kalinya bangun kesiangan kayak tadi. Lain kali nggak lagi," jawabku sambil tersenyum ke arah bunda.

"Yaudah, sekarang benerin itu penampilannya. Kok kusut gitu mukanya. Nggak cakep lagi entar. Kalo nggak ada cewek yang mau deket sama Al gimana gara-gara kusut gitu mukanya?" Goda Bunda.

"Iih, Bunda apaan sih?" Pipiku terasa panas mendengar godaan Bunda. Sedangkan Bunda hanya tertawa sambil salah satu tangannya mengusap kepalaku lembut.

Ketika sampai di sekolah, pintu gerbang sudah tertutup rapat. Aku menghela nafas frustasi memikirkan cara agar bisa masuk kedalam.

"LO!!" Sebuah pekikan yang cukup keras mengagetkanku. Aku menoleh ke samping melihat siapa yang baru saja mengagetkanku. Aku semakin terkejut ketika melihat orang itu. Alayya.

"Eh, ehm. Hai?" Sapaku gugup.

"Lo bisa telat juga ya ternyata? Gue kira lo anak teladan yang selalu dateng sebelum bel bunyi," ucap Alayya dengan mata yang memincing menatapku. Aku yang mendapatkan tatapan seperti itu pun hanya bisa mengusap-usap tengkukku salah tingkah. Sepertinya Alayya tau kalau aku sedang salah tinggah karena ia langsung mengibaskan tangannya di hadapanku.

"Ck. Udah lupain. Lo mau masuk nggak? Kalo iya ikut gue, kalo nggak gue tinggal sekarang," ucapnya lalu berlalu begitu saja.

"Loh, kamu mau kemana? Kita nggak nungguin sampe guru pikit dateng dulu baru bisa masuk?" tanyaku bingung ketika melihat ia justru meninggalkan gerbang.

"Dan nerima resiko dapet hukuman? Lo tau siapa guru piket hari ini?" Ia balik bertanya kepadaku. Aku hanya menggelengkan kepalaku sebagai jawaban.

"Guru fisika paling killer di sekolah ini. Gue nggak tau namanya siapa dan enggak berminat untuk tau. Tapi yang jelas, hukuman dari dia bisa bikin lo langsung mampus," jelasnya lalu melanjutkan langkahnya.

Aku sedikit ragu bila ikut dengannya. Tapi, setelah mendengar perkataan Alayya tadi, aku bergidik ngeri membayangkannya. Dengan langkah ragu, akhirnya aku mengikuti kemana Alayya pergi.

Aku memandang tembok yang lumayan tinggi di hadapanku. Di dekatnya ada sebuah batu yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk sebuah tanjakan. Aku menatap Alayya seolah bertanya 'serius?' dan tatapanku hanya dijawab dengan anggukan kecil.

"Lo bisa manjatkan? Lagian temboknya nggak tinggi-tinggi amat," ucapnya tanpa menatapku. Ia melepas tas yang ada di punggungnya lalu melemparkannya melewati tembok sekolah.

"Gue dulu yang manjat. Kalo gue bilang aman, baru lo manjat. Ngerti?" Aku hanya menganggukkan kepalaku tanda mengerti. Baru saja kakinya menanjak di bebatuan, ia menghentikan pergerakan kakinya lalu menoleh ke arahku.

"Btw, bisa lo ngadep ke belakang lo dulu? Gue nggak mau kejadian waktu itu keulang lagi hari ini."

Aku yang mengerti maksud perkataannya menjadi salah tingkah dan langsung berbalik memunggunginya. Pipiku bersemu merah dan rasa panas juga mulai merambat ke telingaku. Lagi-lagi bayangan tentang kejadian itu menghantui pikiranku.

"Shuut, Al. Aman! Lemparin tas lo kesini baru lo manjat," bisik Alayya layaknya pasukan densus 88. Aku yang mendengar itu langsung mengikuti perintahnya. Kulemparkan tasku seperti Alayya melempar tasnya tadi.

Aku menelan ludahku kelu. Membayangkan aku harus memanjat tembok yang cukup tinggi itu. Saat akan memanjat tembok, aku sempat ragu namun berusaha ku tepis jauh jauh keraguan itu.

"Al, buruan. Kalo ketahuan bisa gawat entar," bisikan Alayya kembali terdengar. Aku meletakkan tanganku di tembok untuk berpegangan, sedangkan kakiku mulai menginjak bebatuan tadi. Dengan sekuat tenaga aku melompat ke atas tembok. Saat sudah berada di atas tembok, aku melihat Alayya yang ternyata juga menatapku.

"Buruan, Altair!"

Bagaimana mungkin seorang perempuan bisa memanjat dan melompati tembok setinggi ini? Sebelum melompat kebawah, aku berdoa terlebih dahulu. Semoga kakiku masih dalam keadaan utuh ketika pulang nanti. Setelah menguatkan hati dan menyiapkan mental, akhirnya aku melompat dari atas tembok -yang lumayan- tinggi itu.

"Ck. Lama amat sih lo. Untung aja nggak ada guru yang liat," gerutunya kesal yang kubalas nyengir tidak bersalah.

"Hehe... ya maaf, Al. Habis ini kan pertama kalinya aku manjat tembok kayak tadi," balasku sambil mengusap tengkukku.

Ku lihat Alayya mendengus kesal lalu melemparkan tasku kepadaku. Setelah itu ia mengambil tas miliknya yang masih tergeletak di tanah lalu berlalu dari hadapanku. Aku mengikuti langkahnya dari belakang sambil membersihkan rumput-rumput yang menempel di tasku.

"Ngapain lo ngikutin gue?" Tiba-tiba Alayya menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Aku menatapnya bingung.

"Loh, kenapa? Kelas kita deketan kan?" aku bertanya bingung.

"Kata siapa gue mau ke kelas? Kalo lo mau ke kelas, yaudah sana sendiri." Ia lalu membalikkan badannya dan berlalu meninggalkanku.

Kalau dipikir-pikir, kalau misalkan aku masuk sekarang pasti guru di kelas bakalan tanya macem-macem kayak 'kenapa aku bisa telat' atau 'gimana caranya aku masuk tanpa surat keterangan dari guru piket' dan karena aku anak yang jujur, aku bakalan jawab dengan jujur. Dan ujung-ujungnya aku bakalan di hukum karena telat plus manjat tembok. Lah berarti sia-sia dong aku manjat sambil teruhan nyawa tadi?

Tapi, kalau aku ngikutin Alayya berarti aku bolos dong? Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tapi sepertinya lebih aman kalau aku ikut Alayya. Secara Alayya kan profesional. Kemungkinan ketauan guru tipis, seperti tadi ketika memanjat tembok.

Dengan langkah pasti, aku mengejar Alayya yang sudah jauh di depanku. Aku melangkahkan kaki ku selebar lebarnya agar bisa menyusul langkah Alayya yang tergolong cepat. Aku tidak mau berlari untuk mengurangi resiko ketahuan guru.

'Ampun deh ini anak, jalannya sama sekali nggak ada anggun-anggunnya. Gue yang cowok aja jalannya nggak secepet dia. Atau jangan-jangan kepribadian gue ketuker sama kepribadian dia? Harusnya dia cowok gue yang cewek gitu?' Aku bergidik ngeri dan berusaha membunuh pemikiran konyolku itu.

"Al, tunggu. Aku ikut sama kamu," ucapku dengan nafas yang terenggah-enggah ketika berhasil menyamai langkahnya.

"Lo ngikutin gue?" Tanyanya dengan alis yang terangkat sebelah. Aku yang mendengar itu mengangukkan kepalaku yakin.

"Lo yakin? Gue mau bolos. Lo bener-bener yakin mau ngikutin gue bolos?" Tanyanya lagi. Aku mengangukan kepalaku lagi.

"Heem. Lagian kelas pasti udah mulai. Dan masuk kelas tanpa dapet pertanyaan yang aneh-aneh itu mustahil. Aku masuknya nanti aja waktu pergantian mapel," jawabku. Dapat kurasakan ia menghela nafas panjang.

"Oke. Tapi kalo sampe ketauan sama guru, gue nggak mau tanggung jawab." Lagi-lagi aku menganggukkan kepalaku dengan yakin. Dan aku hanya bisa berdoa dalam hati agar apa yang dikatakan Alayya tidak terjadi.

Yah, semoga.

Jum'at, 1 Juni 2018

I'm (not) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang