3. New Friend?

150 52 58
                                    

Alayya POV

Aku segera memakirkan mobilku begitu tiba disekolah. Kulirik jam di tanganku. 6.48 AM. Masih sekitar 10 menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Sebuah keajaiban seorang Alayya tidak terlambat memasuki sekolah. Bahkan Pak Satpam pun masih melongo saking herannya. Dan tentunya hal ini patut diacungi jempol.

Ketika aku berjalan di lorong, orang-orang segera menyingkir sambil berbisik-bisik. Cara penyambutan yang cukup baik. Aku jadi merasa seperti putri kerajaan sekarang.

Sesampainya di kelas, semua orang langsung menatapku dengan pandangan heran. Mungkin mereka tak percaya jika aku sampai di kelas sebelum bel berbunyi. Tanpa memperdulikan tatapan mereka, aku langsung menuju bangku paling pojok belakang. Huft... baru saja sampai di kelas rasa bosan mulai menderaku. Ku letakkan kepalaku di atas meja dan memejamkan mata.

"Shuuut... hey!" Belum sepenuhnya aku terbang ke alam mimpi seseorang sudah menggangguku. Tak kuhiraukan suara itu dan tetap memejamkan mata.

"Heh Al... Bangun Woy! Kebo amat sih lo! Baru aja sampe udah langsung molor."

Ck, bukannya menyerah karena ku acuhkan, dia justru semakin bersemangat menggangguku. Kurasakan tusukan-tusukan kecil dileherku. Ya Tuhan, tidak bisakah aku mendapatkan ketenangan tanpa ada yang menggangguku? Hari ini saja. Aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk melayani mereka.

"Bisa diem nggak lo!" Bentakku sambil menggebrak meja. Semua orang di kelas menatapku. Ku tatap orang yang sedari tadi menggangguku. Ia balas menatapku. Tak ada raut ketakutan seperti halnya orang lain menatapku. Yang ada malah senyum lebar menghiasi wajahnya. Sepertinya ia senang karena berhasil menggangguku.

"Lo siapa? Gue sama sekali nggak tau lo siapa, dan lo malah berani beraninya gangguin gue? Nyali lo gede juga ternyata," ucapku sinis.

"Oh God Al, udah hampir 3 tahun kita di kelas yang sama dan lo gak tau gue siapa?" Jeritnya histeris. Sungguh, suaranya sangatlah merdu. Merusak dunia maksudku. Aku harus ke dokter THT setelah pulang sekolah nanti.

"Who?" Tanyaku sambil menyilangkan tangan di depan dadaku.

"Gue, lo beneran nggak tau nama gue?" Tanyanya heran.

"Who? Who care? Who f*cking care about that? Gue sama sekali nggak peduli lo siapa. Jadi jangan pernah sok-sokan akrab sama gue. Karna. gue. benci. itu," ucapku sambil menekankan setiap kata pada kalimat terakhir serta jari telunjuk yang menusuk-nusuk bahu sebelah kirinya.

Ia hanya terdiam sambil masih menatapku. Baru saja ia akan membuka mulut, guru sudah memasuki kelas. Aku yang melihat itu kembali duduk dan menelungkupkan wajahku di atas meja. Tidur lagi.

***

Bel istirahat berbunyi. Semua orang di kelas segera berhambur keluar kelas. Baru saja aku akan keluar kelas, seseorang menepuk bahuku. Orang itu lagi. Sepertinya orang itu suka sekali menggangguku. Kuputar bola mataku malas.

"Lo lagi, lo lagi. Mau lo apaan sih sebenernya?" Tanyaku mulai kesal.

"Fadhila. Lo bilang lo nggak kenal gue. Jadi, nama gue Fadhila," Ucapnya sambil menjulurkan tangan kanannya.

"Gue tanyanya lo mau apa? Kenapa lo malah nyebutin nama lo? Nggak penting banget."

"Mau gue? Gue cuma mau jadi temen lo," jawabnya dengan percaya diri. Apa ada rawa-rawa di sekitar sini? Ingin rasanya aku menenggelamkan dia di rawa rawa. Tapi sepertinya dewi keberuntungan masih berpihak kepadanya, karena tidak ada rawa rawa di sekitar sini.

"Lo? Jadi temen gue? Lagi latian ngelawak lo? Sumpah lawakan lo nggak lucu sama sekali," ucapku sambil tertawa sinis.

"Nggak. Gue nggak lagi latian ngelawak. Gue serius pengen jadi temen lo," balasnya dengan mantap.

"Kenapa? Kenapa lo mau mau jadi temen gue?" Tanyaku sedikit bingung dan ada sedikit nada sinis di dalamnya. Selama aku bersekolah disini, belum ada orang yang mau menjadi temanku. Dan aku sama sekali tidak mau repot-repot untuk sekedar mencari teman.

"Entah? Awalnya gue juga takut mau temenan sama lo. Cuma aja ngeliat lo nolongin gue dari Sisca kemarin, kayaknya pikiran gue tentang lo yang berandal, nakal dan sebagainya berubah setelah lo nolongin gue," jelasnya panjang lebar.

"Jadi intinya, lo mau jadi temen gue karena lo bisa jadiin gue tameng kalo lo lagi dibully sama Sisca, gitu? Sori, gue nggak tertarik," balasku ketus.

"Ck. Gue nggak sepicik itu, please. Emang salah kalau gue pengen jadi temen lo?" Tanyanya mulai kesal.

"Salah. Sangat salah. Jadi stop ganggu gue lagi," jawabku ketus dan segera meninggalnya yang masih setia membujukku untuk menjadi temannya. Aku menyesal karena sudah masuk terlalu pagi. Harusnya aku tadi membolos saja daripada harus berurusan dengan cewek ngeselin ini.

***

Altair POV

Aku masih terdiam di kelas ketika semua teman sekelasku sudah meninggalkan kelas. Sungguh, aku bingung harus kemana. Biasanya aku akan langsung ke kantin bersama dengan Raffa. Tapi hari ini sama seperti kemarin. Raffa harus mengikuti rapat karena tournament akan segera di mulai. Dan karena itu, lagi-lagi aku jadi kayak orang bego karena bingung mau kemana seolah aku anak ayam yang kehilangan induknya dan nggak tau mau pergi kemana.

Tiba-tiba aku kembali memikirkan Alayya. Kira-kira dimana dia menghabiskan waktu istirahatnya.

Perpustakaan? Jelas bukan.

Halaman belakang? Tidak. Karena aku sering kesana dan hanya sekali aku menemukannya disana. Itu pun karena kebetulan.

Kantin? Itu yang paling memungkinkan. Bukankah setiap orang biasanya akan ke kantin pada jam istirahat? Tapi mungkinkah Alayya pergi ke kantin seorang diri? Karena selama ini, yang aku tau Alayya tidak pernah pergi bersama dengan teman-temannya. Ia selalu seorang diri dimana pun.

Bukankah itu bagus, Altair. Kamu akan jadi satu-satunya teman untuk dia, dan mungkin kamu akan menjadi orang yang berharga bagi dia. Jadi? Tunggu apa lagi sekarang? Dewa batinku berbisik.

Aku segera bergegas ke kantin ketika memikirkan hal itu. Namun baru beberapa langkah aku meninggalkan kelas, mataku tak sengaja melihat sosok yang tak asing bagiku.

Alayya. Tapi dia tidak sendirian. Ada orang lain yang bersamanya. Ku kira ia tidak memiliki teman, tapi ternyata aku salah. Mataku bertatapan dengan matanya

"Hai," sapaku pelan nyaris tanpa suara. Aku harus menelan kekecewaaanku bulat bulat. Karena ternyata aku bukan satu satunya orang yang dekat dengannya. Ada orang lain juga yang bersamanya. Tapi itu juga bagus, karena dia tidak akan kesepian seandainya tidak ada aku.

Aku kembali ke kelas dengan dengan perasaan kecewa. Aku ingin menjadi satu satunya orang yang dekat dengannya. Aku ingin hanya aku yang dapat selalu bersamanya. Bukan orang lain. Bukan juga gadis itu.

"Tenang Al, setidaknya bukan lelaki yang dekat dengannya. Yang dekat dengannya hanya seorang perempuan. Tenang, kesempatan untukmu masih terbuka lebar. Ayo tetap semangat Altair," ucapku menyemangati diriku sendiri.

======

Hai... Miss me guys? Nggak ya? Maafin daku ya apdetnya telat banget. 🙏🙏🙏
Sebenernya dari bulan lalu tanganku udah gatel pengen lanjutin cerita ini. Namun apalah daya, kesibukan mempersiapkan berbagai lomba membuatku tak lagi memiliki waktu. 😭😭😭😭
Dan aku harap, kalian masih mau nungguin cerita ini.
Thanks guys.. 😙😙😙

Sabtu, 23 Desember 2017

I'm (not) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang