6. Mereka

86 19 2
                                    

Alayya POV

"Darimana saja kamu Alayya."

Aku baru saja melangkah hendak menuju kamarku ketika sebuah suara menghentikan langkahku. Aku berbalik menghadap sang empunya suara. Aku menghela napas pelan. Bersiap menerima ceramah panjang lebar dari seseorang di hadapanku kini.

"Sekolah, Pa," jawabku singkat. Kuberanikan menatap matanya yang kini menatapku tajam.

"Jam berapa sekarang?" Tanyanya lagi dengan suara tegas. Aku melirik jam di tanganku.

"19.08"

"Kamu pikir Papa nggak tau kalau sekolah kamu itu selesai jam berapa? Kamu selesai sekolah jam 2 siang. Dan sekarang kamu sampai di rumah jam 7 malam. Keluyuran kemana aja kamu?" Tanyanya lagi masih dengan suara yang tegas. Aku baru saja akan menjawab namun sebuah suara menginterupsi pembicaraanku dengan Papa.

"Kamu udah pulang, sayang? Ayo, buruan mandi habis itu turun ke meja makan. Kita makan malam bareng. Mama sengaja nungguin kamu tadi. Mama juga udah masakin makanan kesukaan kamu," ucap Mama antusias. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis lalu berjalan menuju kamarku yang berada di lantai 2.

Aku baru saja selesai mandi dan langsung menuju ke meja makan. Tampak Mama dan Papa yang sedang berbincang-bincang. Mama yang menyadari kehadiranku langsung tersenyum.

"Ayo sayang, buruan. Makanannya keburu dingin," ucap mama sambil meletakkan segelas susu di hadapanku. Tidak ada suara selama makan malam berlangsung sebelum akhirnya Papa membuka suara.

"Gimana sekolah kamu Alayya?" Aku yang baru saja hendak menyuapkan makanan ke dalam mulut menghentikan kegiatanku sebentar.

"Baik," jawabku singkat lalu melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda.

"Gimana sama kegiatan di sekolah kamu? Ada yang membuatmu tertarik?" Kali ini Mama yang bertanya. Aku hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.

Sama sekali tidak ada yang membuatku tertarik selama di sekolah. Aku justru bosan dengan rutinitas yang terus berulang setiap harinya. Datang ke sekolah, mengikuti pelajaran -yah, walaupun aku lebih sering membolos, dan terakhir pulang. Sama sekali tidak ada yang menarik.

Kecuali cowok itu, ucapku dalam hati.

"Kamu udah kelas 12. Belajar yang rajin. Kalau perlu ikut les sekalian. Lebih berguna daripada kamu keluyuran nggak jelas kayak tadi," sahut Papa sambil meminum kopinya. Aku terdiam. Enggan untuk membalasnya. Ku genggam erat-erat sendok ditanganku.

"Jangan sampai ada nilai merah di rapor kamu nanti. Jangan bikin malu Papa sama Mama," lanjutnya.

Emang kapan di raporku ada nilai merah, Pa? Aku sama sekali belum pernah dapet nilai merah di raporku. Oh iya, Alayya lupa. Kan Mama Papa belum pernah ngambilin raporku. Pantes aja nggak tau.

Ingin rasa aku mengatakan ini kepada Papa, tapi ku urungkan niatku. Aku masih tau diri, aku tidak mungkin mengatakannya secara terus terang kepada Papa. Bagaimana pun juga, dia orangtuaku.

"Iya, Pa," alih-alih mengatakan apa yang kupikirkan, aku hanya dapat meng-iya-kan perkataan Papa.

"Capek-capek Papa kerja buat kamu biar kamu bisa sekolah di tempat yang bagus, jangan kecewain Papa," ucap Papa sedikit ketus. Aku hanya memejamkan mataku rapat-rapat. Tidak menjawab perkataan Papa. Toh, kalaupun menjawab, aku hanya bisa meng-iya-kan perkataan Papa.

Buru-buru kuhabiskan makan malamku agar bisa segera terlepas dari sini.

"Alayya udah selesai Ma, Pa. Makanannya enak Ma, makasih. Alayya ke kamar dulu Ma, Pa. Ada tugas sekolah yang harus Alayya kerjain," ucapku setelah selesai makan. Tanpa menunggu jawaban dari Mama-Papa, aku beranjak dari meja makan menuju kamarku.

Aku berbohong. Sejak kapan Alayya si biang onar mau mengerjakan tugas sekolah? Bukankah kebohongan adalah suatu hal yang wajar? Semua orang pasti pernah berbohong. Apapun itu alasannya.

Ku hempaskan tubuhku di kasur. Aku memenjamkan mataku rapat-rapat. Berharap dapat langsung terlelap dan semua rasa lelah hilang.

Tidurlah Alayya. Masih ada hari esok yang menunggumu. Istirahatlah, karena bersandiwara memerlukan banyak tenaga, bisikku pada diri sendiri.

***

Aku membuka mataku saat merasakan sinar matahari mengintip dari sela-sela tirai jendela kamarku. Aku menguap dan merentangkan tanganku lebar-lebar. Aku melirik jam di nakas. Masih jam setengah enam.

Aku baru saja ingin memejamkan mataku lagi ketika teringat sesuatu. Papa sama Mama ada di rumah. Aku langsung berlari ke kamar mandi di kamarku. Bisa-bisa kena ceramah pagi kalau jam segini belum bangun juga.

Aku mandi dan memakai seragamku secepat mungkin. Setelah merasa siap, aku turun ke bawah menuju meja makan. Aku berpikir bahwa orang tuaku sudah ada di meja makan sambil menungguku datang agar bisa sarapan bersama. Tapi nihil. Hanya ada sarapan satu porsi, segelas susu, dan buah-buahan.

Aku menghembuskan nafas lelah. Kulihat Mbok Yem yang sedang membersihkan ruang tamu.

"Mama sama Papa dimana, mbok?" Aku tetap bertanya meski kenyataannya aku sudah tau kemana mereka.

"Eh, itu mbak, tadi bilangnya mau keluar kota ada urusan di sana. Berangkatnya tadi jam 4, jadi mbak Al tadi belom bangun," jelas Mbok Yem.

Tebakkan ku benar. Mereka sudah pergi. Dan urusan yang dimaksud pasti urusan pekerjaan. Selalu seperti itu. Pekerjaannya selalu diutamakan di atas apa pun. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala pelan menanggapi ucapan Mbok Yem.

Aku memakan sarapanku dengan khidmat. Aku sangat jarang sarapan di rumah karena biasanya aku selalu bangun terlalu siang. Jadi, ketika ada waktu untuk menikmatinya kenapa tidak? Aku begitu menikmatinya hingga tanpa terasa jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh. Aku memakai sepatuku dengan tidak tergesa-gesa lalu berangkat ke sekolah.

****

Kulihat pagar yang menjulang tinggi di hadapanku. Sebuah gembok sudah bertengger manis di sana. Kalian tau apa artinya? Telat. Seperti biasanya, aku tidak mau repot-repot memohon kepada pak satpam atau pun guru piket. Ini hari rabu, dan aku tau siapa guru yang bertugas mengurus siswa siswi yang terlambat. Guru fisika, guru paling killer di sekolahku yang sampai saat ini tidak ku ketahui namanya.

Aku baru akan menuju belakang sekolah ketika mendengar helaan napas di sampingku. Aku menolehkan pandanganku ke samping dan seketika aku melotot melihatnya.

"LO??"

Rabu, 16 Mei 2018

I'm (not) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang