5. Sorry...

107 34 25
                                    

Alayya POV

Sudah hampir dua minggu sejak kejadian memalukan itu terjadi. Aku selalu berusaha menghindarinya jika tidak sengaja bertemu. Contohnya saat ini, ketika aku sedang berjalan di lorong dekat kelasku, aku langsung berbalik arah untuk menghindarinya. Lalu bersembunyi di balik tembok sampai dia benar-benar menghilang dari hadapanku.

"Al, lagi ngapain lo? Main petak umpet?" Sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku.

"Astaga. Setan lo! Ngagetin mulu lo kerjaannya," ucapku kesal. Sedangkan sang tersangka hanya menampilkan senyum tak bersalahnya.

"Ampun deh, Al. Lagian ngapain lo ngumpet nggak jelas kayak gitu? Mau bolos lagi lo?" Tanya Fadhila.

"Kalo iya kenapa? Mau ikut lo? Ikut gue kalo lo mau bolos," ucapku sambil menarik tangannya.

"Eh, nggaklah Al. Gila lo. Kalo lo mau bolos, ya udah sana pergi. Nggak usah ajak-ajak gue," jawabnya sambil menarik tangannya dari cekalanku.

Kriing.....

"Yaudah sih ya. Siapa juga yang mau ngajak lo bolos. Orang gue Cuma mau nunjukin jalan biar lo bisa bolos tanpa ketahuan guru," Ucapku sambil berlalu dari hadapannya dan menuju kelasku. Meninggalkannya yang masih bingung dengan ucapanku.

Sesampainya di kelas, aku langsung menuju bangku milikku. Begitu juga dengan Fadhila yang sedari tadi masih mendumel kesal karena kutinggalkan. Tak lama kemudian seorang guru memasuki kelas dan pandangannya langsung menuju ke arahku.

"Tumben kamu masuk Alayya. Saya harap kamu dapat mengikuti pelajaran saya dengan baik," ucapnya datar.

"Khilaf pak," sahutku singkat. Matanya langsung melotot ke arahku.

"Kalau kamu memang tidak berniat mengikuti pelajaran saya, silahkan keluar sekarang. Saya tidak ingin kehadiran kamu malah mengganggu proses belajar mengajar saya," ucapnya tegas dan penuh penekanan.

Aku yang mendengar itu hanya mendengus kesal lalu meletakkan kepalaku di atas meja. Tidak berniat mendengarkan penjelasan sang guru.

***

"Al, lo mau ke kantin nggak?" Aku mendongak untuk menatap Fadhila lalu kembali memainkan smartphoneku.

"Hmm," jawabku singkat.

"Ngomong yang jelas napa? 'hmm' tu maksudnya iya atau nggak." Fadhila mendumel kesal.

"Ya."

"Astaga, Al. Emangnya kena tarif per huruf ya kalo ngomong? Perasaan nggak deh."

Tak ku hiraukan Fadhila yang tampak frustasi akibat berbicara denganku. Aku bangkit dari kursi dan melangkah meninggalkan kelas menuju kantin. Sedangkan Fadhila terus mendumel kesal sambil berusaha menyamakan langkahku yang cepat.

Sesampainya di kantin, mataku tak sengaja melihat sosok Altair bersama dengan temannya. Aku buru-buru mengalihkan tatapanku dan berusaha menghindar dari tatapannya.

"Alayya, tungguin gue dong," Ucap Fadhila cukup keras. Aku menghela nafas kasar. Terlambat. Gara-gara teriakan Fadhila, orang-orang di kantin menatap ke arahku. Begitu juga dengan Altair. Sialan. Ingatkan aku untuk menenggelamkannya di kolam nanti. Dapat kulihat Altair tersenyum dam berjalan menghampiriku diikuti temannya.

Aku yang mengetahui hal itu langsung berbalik hendak meninggalkan kantin. Namun sebuah tangan mencekal lenganku.

"Al, lo mau kemana sih? Lo nggak laper apa? Kalo lo nggak laper, temenin gue dulu dong baru balik ke kelas." Ck, sialan. Katanya temen. Temen bukannya nolongin malah ngerepotin. Aku berbalik menatapnya sambil melotot.

"Lo tu--"

"Hai Alayya," sebuah suara memotong ucapanku. Tanpa melihatnya pun aku sudah tau siapa pemilik suara itu. aku menghembuskan napas lelah lalu melihat sang pemilik suara. Kulihat Altair tersenyum canggung sedangkan temannya hanya menatapku bingung.

"Hmm," balasku malas. Jujur, setiap melihatnya aku menjadi teringat dengan kejadian memalukan kemarin.

"Al? kamu masih marah ya sama aku?"

Pake nanya segala nih anak. Jelaslah aku masih marah. Cewek mana sih yang nggak marah kalo benda keramatnya diliat? Please, gue bukan cabe-cabean yang malah seneng kalo ada cowok lagi ngeliatin tubuhnya.

"Aku minta maaf. Aku bener-bener nggak sengaja waktu itu. Aku nggak punya niat buat ngeliat 'itu'nya kamu. Suer deh," ucapnya sambil menunjukkan jarinya yang membentuk huruf V.

Aku memincingkan mataku menatapnya. Berusaha mencari kebohongan lewat matanya. Namun aku sama sekali tidak menemukannya. Aku menghela nafas lelah. Sejujurnya aku masih marah -dan malu- dengannya. Tapi aku pun juga salah saat itu. Jika saja waktu itu aku berhati-hati, hal itu takkan terjadi.

"Oke, gue maafin. Awas kalo lo ngulangin lagi, gue cincang lo jadi abon kesukaan gue," ancamku.

Dapat kulihat dia tersenyum lega. Sedangkan temannya menatapku dan Altair dengan pandangan menyelidik. Dan aku benci ditatap seperti itu.

Aku langsung membalas menatapnya dengan pandangan seolah bertanya 'Apa lo liat-liat? Belom pernah liat cewek cantik se-unyu dan se-imut saya mas?'

Dan dia kembali menatapku dengan alis naik sebelah dan mengernyitkan dahinya seolah berkata 'Cewek sinting!'

Aku tambah melotot ke arahnya lalu berbalik meninggal mereka berdua sambil menghentak-hentakkan kakiku kesal.

Cih, nggak dia nggak temennya, sama-sama ngeselinnya. Gerutuku kesal. Baru setengah perjalanan menuju kelas, aku merasakan sesuatu yang janggal. Aku menghentikan langkahku ketika mengingat sesuatu. Ah, aku tau sekarang. Kemana perginya si curut satu itu? aku tidak melihatnya semenjak kedatangan Altair dan temannya tadi.

Mungkin dia masih di kantin. Kan katanya dia tadi laper. Yah, mungkin. Batinku. Tiba-tiba aku mengerjapkan mataku. Loh? Ngapain gue jadi mikirin si curut itu? kurang kerjaan banget. Aku hanya mengerdikkan bahuku dan melanjutkan langkahku menuju kelas.

***

Altair POV

"Kamu?" Aku menghentikan langkahku saat mendengar pertanyaan itu. aku menoleh kearah Raffa yang menatapku binggung. Aku hanya menatapnya sekilas lalu menuju ke salah satu banggu yang masih kosong di kantin.

"Woy, Al. Gue nggak salah dengerkan kalo lo make aku-kamu ke cewek tadi?" Tanya Raffa setelah duduk di hadapanku.

"Iya. Kenapa? Lo juga mau gue manggil lo pake aku-kamu?" tanyaku yang dibalas dengan tatapan wajah seolah jijik denganku.

"Amit-amit jabang bayi. Ogah, jijik gue," ucapnya sambil mengetuk kepalanya dengan tangan lalu berganti mengetuk meja berkali-kali.

"Lagian kenapa sih emangnya? Salah kalo gue make aku-kamu? Lagian ya Raf, sebagai penerus bangsa, kita harusnya make bahasa yang baik dan benar sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia. Dan--" Belum selesai aku berbicara, Raffa sudah memotong ucapanku terlebih dahulu.

"Oke, stop. Bukan itu yang mau gue denger. Yang pengen gue denger adalah kenapa lo make aku-kamu ke cewek tadi. Dan gimana bisa lo kenal sama cewek tadi," ucap Raffa.

"Salahnya apa sih kalo gue pake aku-kamu sekaligus kenal sama Alayya?" Balasku. Lagian, apa salahnya memakai aku-kamu dan dekat dengan seorang wanita? Sungguh, aku tidak tau jalan pikiran Raffa.

"Nggak salah sih. Cuma aja ya, lo nggak pernah deket sama cewek, tiba-tiba lo deket sama cewek dan langsung make aku-kamu ke dia. Dan kenapa sih harus Alayya? Nggak ada cewek lain apa? Lo tau kan kalo dia itu biang onar di sekolah?" Ucapnya panjang lebar.

Baru saja akan membalasnya, ibu kantin datang dan meletakkan dua mangkok bakso dan minumannya. Aku mengucapkan terima kasih lalu kembali menatap Raffa.

"Kenapa lo jadi kayak tanya ke gue 'kenapa cowok baik-baik kayak gue harus temenan sama cowok playboy cap kadal brengsek kayak lo?' Gue nggak peduli mau temenan sama siapa yang penting gue nyaman sama orang itu," balasku telak.

Melihatnya yang hanya terdiam, aku hanya mengedikkan bahuku dan mulai memakan bakso yang sedari tadi menggoda imanku. Dan mungkin aku bisa tidur tenang malam ini karena sudah mendapatkan maaf dari Alayya.

Kamis, 1 Maret 2018

I'm (not) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang