SEPTYAN BEATRIX

47 19 2
                                    

HARI ini aku sial banget—ralat maksudku kami.

Di siang bolong ini kami melakukan latihan PBB. Bayangkan saja pasukan PASKBRAKA di Istana Presiden , kami kurang lebih dilatih persis seperti itu. Bahkan itupun bukan dari kemauan kami sendiri, melainkan perintah dari kakak senior didepanku yang gayanya sangat bossy, sok anggun dan sombong. Percaya ataupun nggak, coba saja kalian perhatikan caranya dia melatih dengan memanggang kami ditengah lapangan seperti ini.

Aku yakin pasukanku pasti sudah menjadi manusia panggang yang siap untuk ekspor ke luar negeri sekarang—dan ketika aku pulang nanti, akan terlihat kulitku yang berwarna sangat kotras dengan aslinya atau garis miring bisa jadi kulitku belang seperti permen Blaster.

Dari sekian banyak penderitaan kami, kakak senior itu malah asyik banget duduk berteduh dengan sweater hodienya dan mengibaskan kipas kayunya yang bermotif bunga.

Seingatku aku pernah melihat kipas itu di pasar dekat sini saat aku mengantar ibuku berbelanja. Mungkin saja dia membeli kipasnya di pasar itu. Tapi kalau bener, berarti dia parno banget!

Jelaslah di jaman yang modern ini kipas begituan mah udah lawas alias kuno. Yang lagi ngetren sekarang itu kipas angin mini yang bisa dibawa kemana-mana, bentuknya praktis, kita hanya perlu memberinya baterai untuk hidup dan juga satu lagi yang nggak kalah penting adalah harganya yang ekonomis.

Dari sekian banyak kelompok yang latihan PBB di lapangan ini, hanya pasukanku yang paling sial. Itu karena kami mendapat istirahat paling belakangan. Eitss itu bukan sepenuhnya salah kami. Seperti yang kukatakan sebelumnya, kakak senior pelatihku saja yang terlalu parno menyuruh kami langkah tegap maju supaya persis dengan pasukan pengibar bendera di Istana Presiden.

Untung saja May, ketua pasukan kami sangat cerdas memberikan isyarat pada kami untuk tetap berusaha sekuat tenaga. So, kami bisa melangkahi penderitaan kami meskipun dengan segenap jiwa dan raga kami—bisa kalian lihat wajah kami sangat pucat meskipun lusuh karena dibasahi oleh keringat segar seperti orang dehidrasi.

Betisku yang mungil ini terasa berat—entah kenapa, namun terpaksa kupaksakan untuk melangkah. Aku berjalan terpogoh-pogoh menuju parkiran. Karena aku mengiyakan ajakan Winda, jadi aku terjebak dalam permainannya untuk menemukan teka-teki misteri gedung tua yang terletak di belakang sekolahku. Aku merasa seperti bermain game Criminal Case di kehidupan nyata. Semoga saja tersangkanya mudah ditangkap seperti game yang sering kumainkan. Tapi aku merasa jenuh juga karena kasusnya terlalu mudah untuk kupecahkan alias nggak ada seru-serunya.

Kulihat semua kawanku sedang menungguku dan kini kami terlihat seperti geng perampok sangar yang siap untuk merebut kembali tambang emas di Papua yang bukan menjadi milik Indonesia lagi. Bagaimana negara kita bisa melunasi semua utangnya? Sedangkan semua kekayaan kita sudah direbut oleh pasukan berkulit putih dari seberang lautan?

"Lama banget lo Sep!", tanya Dayu seraya menepuk pundakku.

Aku memandanginya dengan tatapan kesal. "Betis gue sakit. Lo gak liat gue barusan jalan sambil nyeret betis gue seperti suter ngesot!", sahutku ketus.

"Histeris banget!", sahut wanita yang berada di sebelah May seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kini giliran aku yang tidak mengenali gadis berambut blonde dengan mata kuningnya. Di terlihat sangat kurus diantara kami semua.

"Udahlah kagak usah banyak bacot. Buruan kita susun rencananya selagi ada waktu luang!", gerutu Nokia yang terlihat tak sabaran untuk memulai aksinya.

"Oke jadi gue udah mikirin tentang rencana kita hari ini. Untuk mencari informasi tentang pegawai yang memasuki gedung itu kita harus geledah semua berkas profil guru dan staff pegawai di sekolah ini. Gue kurang tahu diamana semua berkas itu disimpan karena kita baru saja mengenal sekolah ini. Tapi sepengamatanku kali ini , dugaanku berkas itu disimpan di ruang TU. Untuk mempersingkat waktu, kurasa tiga orang cukup untuk mencarinya. Ada yang berminat?", jelas May yang langsung memandang kami semua dengan mata elangnya. Sangat tajam.

Mystery 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang