WINDA KENZEI

25 14 0
                                    

Hari ini adalah hari ketiga sekaligus terakhir kegiatan MOS.

Kami akan melakukan acara perkemahan sampai besok. Karena sekolahku agak berbeda dari yang lain dan juga karena May telah menyusun rencana yang cukup seru, kurasa masa SMA-ku benar-benar akan dimulai hari ini.

Aku baru saja menuju halaman sekolah saat seseorang memanggil namaku dari kejauhan. Aku berhenti berjalan dan mulai menoleh ke kanan dan kiri untuk menemukan siapa yang memanggilku. Dari kejauhan, aku samar-samar melihat Supra berlari kecil kearahku. Bukannya mataku minus, tapi saat ini baru saja waktu menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit pagi dan langit masih nyaman dengan warna gelapnya, membuatku sadar ternyata Supra benar-benar hitam.

"Pagi, Win", sapa Supra.

"Pagi", balasku singkat.

"Senang ya, akhirnya hari ini kita udah terakhir MOS",

Aku tersenyum tipis dan mengangguk pelan, lalu meneruskan langkahku.

"Dan serunya lagi kita bakalan beraksi malam ini!", kata Supra lagi.

Untuk kedua kalinya aku menggangguk lagi.

"Kenapa lo diem aja? Seperti nggak semangat banget."

Aku melirik Supra dengan tatapan dingin. "Gue beda dengan lo. Gue cuma nggak mau bertindak berlebihan"

Tiba-tiba raut wajahnya berubah masam. "Emangnya gue berlebihan?"

"Sejak awal gue nggak ada bilang elo! Simak dengan baik ucapan gue.", sergahku.

"Tapi kan jelas-jelas nuduh gue dan ucapan elo juga mengarah ke gue.", cibirnya.

Aku hanya diam dan tak menanggapi omelannya.

Tanpa menyerah, dia tetap mengoceh padaku. "Ya ya, gue yang salah deh..", dengus Supra.

"Woii!"

Seseorang menegur kami dari belakang. "Jalannya nggak usah dua-duaan dong, nanti ada setan yang ngikutin lo berdua loh!"

Aku menoleh dan kudapati Adelia menyengir kearah kami. "Gue malah berharap setannya beneran muncul."

"Oh ya?", tanya Adelia.

"Dan setannya itu elo!", Supra melototinya.

"Ah elo Sup, kenapa wajah lo sensi banget? Lo lagi PMS ya?"

Supra tampak cemberut. "Udahan ah, gue mau ke kantin." Ia langsung kabur meninggalkan kami.

"Woi item! Jangan kabur lo!", Adelia meneriaki Supra. Namun Supra tidak meresponnya membuat Adelia kembali mendumel.

Tanpa suara, aku berjalan sambil mulai melepaskan sweater yang kukenakan dan menaruhnya ke dalam ranselku. Adelia pun menyusulku tak lama kemudian. Hanya selang beberapa menit, kami sudah berbaris rapi dihalaman sekolah dengan ratusan murid baru lainnya.

~•~

Aku melirik arloji,  jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Mesti telah dilarang untuk memasuki area belakang sekolah, tetap saja aku melanggarnya. Lagian ini kan bagian dari misiku. Sejenak, aku berpikir. Harusnya Pak Mamat memasuki gedung tua yang ada di sebelahku.

Namun ternyata, tak perlu lama menunggu, Pak Mamat sungguh berjalan mendekati gedung itu. Tapi sekarang ia tidak sendiri, melainkan bersama dua orang anggota OSIS. Mereka membopong sebuah kardus besar. Dapat kukenali kedua OSIS itu. Yang satu bernama Dony Pentol--bukan nama sesungguhnya tapi kakak senior yang lain memanggilnya dengan nama itu. Lalu disebelahnya seorang wanita dengan gaya sok cantik bernama Shiela itu pernah membuatku menjadi manusia panggang ketika latihan PBB. Dasar nenek lampir!

Aku memperbaiki posisi persembunyianku. Pohon-pohon disekitar gedung ini memang sangat berguna. Kembali aku beralih ke Pak Mamat. Kini ia membuka pintu gedung tua itu. Sepertinya Pak Mamat menyuruh kedua OSIS itu untuk pergi dari gedung itu. Mereka hanya menuruti perintah Pak Mamat tanpa membantahnya, lalu berjalan melewatiku. Meski tak terlihat, aku tetap berhati-hati agar tidak menimbulkan suara. Saat langkah keduanya menjauh, seketika juga aku menarik napas lega.

Semoga saja aku tidak dihukum karena kabur dari kegiatan MOS. Tadinya kami mendapat tugas mencari kaleng bekas sebanyak-banyaknya di sekitar sekolah. Karena aku ada misi penting, jadi kugunakan saja kesempatan ini untuk kabur dari kegiatan itu. Yah lagian fisikku tidak terlalu mencolok, jadi mereka nggak akan sadar aku kabur.

Disela-sela batang pohon, terlihat Pak Mamat sedang berbicara dengan seseorang di dalam gedung itu. Aku tidak dapat melihat lawan bicaranya dengan jelas. Itu karena ia tertutupi oleh tubuh Pak Mamat.

Setelah selesai bercakap-cakap, Pak Mamat membuka kardus besar itu. Ia mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam kardus. Tak kusangka ternyata isinya adalah seorang manusia! Ia memanggul orang itu yang tampak lemas dan tak sadarkan diri.

Aku memicingkan kedua mataku. Tunggu dulu!, sepertinya aku mengenali  orang itu. Tangannya terikat dan mulutnya tertutup lakban. Gaya rambutnya mirip Agnesmo namun berwarna abu-abu.

Seketika jantungku terasa terhenti.

Dia.. Tashya!

Aku langsung mendekap mulutku dengan kedua tanganku. Tubuhku gemetaran dan jantungku terasa pengin meledak. Pak Mamat menoleh ke kanan dan kiri, kemudian menutup pintu gedung itu dengan rapat.

Sesaat aku hanya terdiam, terperangah melihat kejadian itu. Dan tiba-tiba kepalaku terasa sakit. Sebuah kejadian aneh terlintas di otakku. Tanpa sadar aku menjambak wig yang kugunakan hingga terlepas dari kepalaku. Air mataku mendadak mebasahi pipiku.

Kenapa aku menangis?

Semakin aku mencoba mengingat kejadian itu, rasa sakit itu semakin kuat menghantam kepalaku. Selain itu aku merasakan hal serupa pernah terjadi padaku, layaknya Dejavu.

Ya aku merasa ada yang aneh terjadi padaku.

Dan juga kalimat aneh yang menghantui pikiranku.

Tidak, ini terjadi lagi--dan aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak, jangan terjadi lagi. Jangan, kumohon...

Mystery 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang