Cinta

92 15 11
                                    

Savanna duduk di samping Xave Ketiga saat aku memperhatikannya sembari bersedekap jauh di belakang. Mendengarkan dengan seksama apa yang ia katakan pada Lalluna—ia meminta maaf.

Tak lama setelahnya, mereka menyudahi pembicaraan. Savanna berjalan ke arahku dengan seulas senyuman terlukis di wajah pucatnya. Aku pun mengangkat kedua alisku seolah bertanya 'bagaimana hasilnya', yang dibalas dengan anggukan senang gadis itu dan lantas membuatku tersenyum.

"Bagus." Kuusap puncak kepala gadis itu lembut saat ia sudah berhenti tepat di hadapanku. "Kalau begitu sekarang waktunya beristirahat."

Savanna menggeleng. "Tidak mau."

"Kenapa?"

"Aku tidak mau."

"Ya, kenapa, sayang?"

"Karena aku tidak mau."

Aku pun menghela napas. Menerima keputusannya tanpa mengucapkan persetujuan.

Setelahnya kami masuk ke dalam rumah pack bersamaan dengan Savanna yang berjalan di depanku. Tepat saat kami menginjakkan kaki di dalam, suara melengking Naomi mendadak menggema di gendang telinga siapapun yang mendengarnya. Membuatku mengerutkan alis tak suka.

"Berisik, Naomi," tegur Savanna dengan wajah tak bersahabatnya yang langsung membuat Naomi terdiam sembari menyengir lebar.

"Aku sudah memanggil dokter Sang Xave tadi siang dan menyuruhnya untuk datang. Aku juga telah meminta kepada seorang kerabat penyihirku agar dapat membuat dokter tersebut bisa masuk ke dalam Vamps," jelas Naomi pada Savanna. "Dan sekarang ia sudah nyaris sampai, beberapa Gamma telah menjemputnya. Sekarang, apakah aku boleh meminta satu ruangan disiapkan agar dokter itu bisa beristirahat hingga besok pagi?"

Tanpa pikir panjang, Savanna mengangguk. Membuat Naomi bertepuk tangan antusias kemudian kembali memerintah beberapa anggota pack untuk membantunya merapikan ruangan yang akan dipakai dokter itu untuk beristirahat nanti.

Aku dan Savanna pun berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, berdiri di balkon sembari bersandar pada pagar. Tidak seperti Savanna, aku bersandar dengan punggungku, menatap gadis itu lekat-lekat saat angin malam menerpa wajahnya.

Salju mulai berjatuhan dan terselip pada rambut hitamnya yang ia biarkan tergerai. Menyapa kulitnya yang telah pucat dengan lembut. Kedua mata hijaunya menyipit saat angin kembali berhembus kencang, membuatnya begitu memesona hingga tanpa kusadari salah satu tanganku telah meraih wajahnya untuk diarahkan kepadaku.

Kedua mata hijau itu menatapku bertanya-tanya. Wajahnya yang tadi sempat tak bersahabat kembali melunak. Menunjukkan kepolosan seorang gadis yang baru kali ini kulihat. Ia begitu cantik. Atau mungkin, luar biasa cantik.

"Sana."

Ia mengangkat kedua alisnya, masih diam tak berkutik saat kedua sudut bibirnya tertarik ke atas sedikit. Rona merah muda mulai menghiasi pipinya ketika tanganku merengkuh salah satu pipinya dan mengusapnya dengan ibu jariku.

"Aku tidak mau kehilanganmu."

Dan kemudian ia tertunduk dengan seulas senyuman lebar yang sempat kulihat sekilas. Sekali lagi angin berhembus kencang dan mengibarkan rambut panjangnya. Membuatku tak tahan untuk menyelipkannya di balik telinga gadis itu kemudian menaikkan wajahnya kembali.

"Aku memang tidak bisa selalu mengertimu, tapi aku akan selalu mencoba. Aku memang tidak bisa selalu membuatmu bahagia, tapi aku akan selalu mencoba untuk setidaknya tidak membuat setetes air mata pun terjatuh. Dan masih banyak hal lainnya yang mungkin tak bisa kulakukan untukmu, Savanna, tapi aku pasti akan selalu melakukan yang terbaik untukmu. Untuk kita."

Dixon Abraham [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang