Rumit

134 17 26
                                    

Dixon's POV

Suara ketukan pintu di kamarku membuatku tersadar atas sebuah lamunan. Menyahut dengan keras untuk membiarkan seseorang yang mengetuknya masuk dan Rion menunjukkan diri.

Aku menoleh ke arahnya sekilas sebelum kembali ke dalam pikiranku dan terlarut dalam imajinasi. Namun aku mengurungkan niatku itu dan memerhatikan Rion saat pria itu berbicara.

“Kau belum berniat untuk menjadikan Savanna sebagai pasanganmu?”

Aku terdiam. Memikirkan pertanyaan Rion di dalam benak seolah mencari jawaban itu di dalam diriku.

“Aku melihatmu memberikan darahmu semudah itu untuknya. Dan kejadian tadi tidak mungkin adalah yang pertama kalinya. Karena aku tahu, kau tidak akan semudah itu untuk memberikan apapun kepada seseorang yang baru kau kenal.”

“Aku sudah mengenalnya sejak beberapa hari lalu,” jawabku.

Rion mendesah, menarik kursi pianoku dan duduk di sana. “Aku tidak mengerti kenapa pria bodoh sepertimu masih ada di dunia seperti ini,” ujarnya yang tak kupedulikan. “Maksudku, kau belum mengerti hidupnya, kau belum mengerti sifatnya, kau—“

“Itu kau, Rion. Kalau aku, sudah mengerti.”

Pria itu pun memutar kedua bola matanya malas. “Oke, kau sudah mengerti. Dan kau bahkan juga sudah tahu kalau dia pasanganmu, tahu bahwa dia sudah meminum darahmu dan bahkan wajahnya merona saat bersamamu! Oh, ayolah, apalagi yang kau tunggu?”

Aku hanya menatap Rion, bingung harus menjawab apa hingga sebuah pertanyaan bodoh meluncur dari mulutku. “Apa?”

“Oh, astaga, demi kesuburan Vamps! Kenapa kau begitu bodoh, Dixon Abraham?” Rion berdiri dari posisinya, kedua alisnya berkerut emosi sementara kedua tangannya mengacak-acak rambutnya sebal. “Jadikan ia pasanganmu! Minum darahnya!”

Entah mengapa aku baru tersadar bahwa aku belum membuat Savanna sebagai pasanganku. Walaupun aku telah membiarkannya meminum darahku, aku sama sekali belum pernah meminum darahnya ataupun mengalirkan darahku sendiri ke dalam tubuhnya.

Apa yang akan Savanna pikirkan? Apakah ia akan berpikir bahwa aku pria bodoh dan pengecut yang sangat membenci serigala hingga tidak mau membiarkannya menjadi salah satu dari teman hidupku?

Kemudian aku mendesah pelan. “Aku belum siap.”

“Demi Dewa Langit kau sangat pengecut, Dixon,” sinisnya yang jelas langsung membuatku berdecak tidak peduli kemudian menatap piano kesayanganku yang berada di sudut kamarku. “Aku pikir Dixon Abraham akan selalu menjaga dan melindungi apapun itu yang berstatuskan miliknya. Oh, apakah Savanna tidak termasuk?”

Aku terdiam, masih tidak ingin meladeni Rion.

“Oh, jadi selama ini kau menyangkal takdir yang mengatakan bahwa Savanna adalah pasanganmu, begitu?” Rion pun tertawa sinis. “Dan berharap ada gadis Vampir murni yang menjadi pasanganmu untuk menggantikan posisi Savanna yang tidak kau anggap penting—“

“Sialan!”

Aku telah meremas kerah baju Rion saat tiba-tiba emosiku meledak. Membuat pria itu tersenyum miring seraya menatapku dengan tatapan meledek.

“Kenapa? Kau tidak mau menyangkal perkataanku?”

Aku mendorong tubuh Rion kuat, melepaskannya dari cengkramanku kemudian langsung berteleportasi keluar rumah. Ia membuatku muak. Terlalu mencampuri masalah pribadiku dan terus memaksaku untuk melakukan sesuatu di luar keinginanku.

Di luar keinginanku?

Apakah aku benar-benar tidak menginginkan Savanna?

Hingga sebuah jeritan minta tolong membuat pikiran kacauku sirna. Terfokuskan pada suara itu seraya menajamkan pendengaranku untuk mencari tahu asal suara itu.

Dixon!

Aku menoleh ke kiri, berlari ke arah sana dengan secepat mungkin sembari terus mendengarkan panggilan-panggilan lirih lainnya yang membuatku panik.

Demi Dewa Langit, datangkan Dixon secepatnya.”

Aku menelan ludah, mendengarkan lirihan seseorang yang benar-benar membutuhkanku membuatku merinding. Namun kecepatan kakiku justru bertambah cepat, hingga sebuah lolongan panjang seekor serigala membuatku tertegun dan memanggil kembali pikiran kacauku.

Savanna.

Seekor serigala berbulu biru terlihat tengah mengembangkan sayapnya dengan berani. Berjalan secara perlahan ke arah seseorang yang tengah terduduk tak berdaya di hadapannya dengan air wajah ketakutan yang telah membanjirinya.

Dengan segera aku menghampirinya, hendak berdiri di depan Savanna namun gadis itu menggeram ke arahku dengan sungguh tak biasa. Ia benar-benar berbeda dari serigala yang pernah mencoba menyerangku. Ia begitu penuh dengan taring, air liur yang ternodai oleh darah, kedua matanya yang hitam segelap malam namun berkilauan layaknya seorang Vampir kelaparan.

Deg.

Aku mendongak untuk mendapati bulan tengah bulat sempurna dengan cahaya biru yang menyelimutinya. Membuatku mengerti apa yang tengah Savanna coba lakukan saat ini.

“Sayang?” panggilku yang lantas membuatnya terus menggeram ke arahku. “Sayang, kau dengar aku?”

Kedua matanya terlihat sangat marah. Membuatku kembali bertanya-tanya apa yang sedang terjadi padanya selain kelaparan yang tengah melandanya.

Kemudian ia kembali pada dua Vampir kecil yang tengah meringkuk ketakutan di tengah-tengah akar besar. Memaksaku untuk bertelportasi ke arah dua anak kecil itu kemudian menutupi tubuh mereka dari pandangan mata Keisha—serigala itu.

“Kau mendengar apa yang dikatakan Rion padaku tadi?”

Dengan sekali geraman keras yang dihasilkan Keisha telah menjelaskan padaku bahwa ia mendengarnya. Membuat hatinya semakin terluka hingga baru kusadari salah satu dari kedua matanya telah berubah warna menjadi biru.

“Aku minta maaf.”

Dan tubuh besar serigala itu berubah menjadi gadis cantik seperti yang selalu kulihat. Dengan kedua bola matanya yang telah berubah menjadi hitam, ia berjalan ke arahku, menggeser tubuhku sedikit dan berjongkok tepat di depan kedua anak kecil di belakangku.

Savanna mengusap kepala keduanya, membuat anak perempuan dan laki-laki itu membuka mata untuk membalas tatapan Savanna dan betapa terkejutnya aku saat tahu kedua anak itu memiliki kedua mata yang sama dengan Savanna.

“Kalian aman, adik kecil,” ujarnya lembut. “Daging rusa tidak boleh di makan, maka dari itu, aku mencoba untuk membuatnya pergi. Bukan untuk menakuti kalian.”

Anak laki-laki itu pun menelengkan kepalanya ragu. “Memangnya kenapa jika kita memakannya?”

Entah mengapa, aku dapat menebak bahwa saat ini Savanna tengah tersenyum. “Rusa adalah sahabat leluhur kita, Vampir ras Hitam, dan untuk menghormatinya, kita tidak boleh memakannya.” Jelas Savanna yang membuat anak perempuan di hadapannya memiringkan kepala pula.

“Bagaimana jika kami terlanjur memakannya?”

Dan untuk kedua kalinya, aku sangat yakin bahwa saat ini Savanna tengah semakin melebarkan senyumannya. “Muntahkan. Keluarkan.” Mendadak aku teringat ketika Savanna memberikanku sepiring daging rusa saat itu, jadi dia telah mengeluarkannya dari perutnya dengan sihir?

Aku sadar bahwa perlahan-lahan kedua mataku terbelalak dan tanganku bergetar kaget. Kedua mataku hanya terfokus pada kepala gadis ini yang masih membelakangiku.

“Bagaimana jika kami memakannya tanpa sepengetahuan kami?” tanya anak laki-laki itu lagi.

“Itu tidak apa-apa.”

“Dan jika ternyata itu milik teman kami?”

“Berikan lagi kepadanya….” Hening untuk sejenak. Savanna menggantungkan kalimatnya sebelum akhirnya melanjutkan dengan, “tak peduli darahmu melekat di daging itu atau tidak.”

Aku tidak tahu apa reaksi kedua anak itu setelahnya. Hingga ketika Savanna bergerak untuk memeluk mereka dan menyuruh keduanya untuk pulang, aku masih terfokus pada sosok gadis bermata hitam ini yang tiba-tiba saja sudah berdiri tepat di hadapanku.

“Keisha memang tidak tahu apa yang telah kulakukan,” ujarnya dengan ekspresi yang datar. “Apakah kau ingin memberitahu pendapatmu kepadanya, Dixon?” Dan sebuah seringaian melekat jelas di wajahnya.

“Darahmu telah berada di dalam diriku,” lirihku ragu.

Savanna menaikkan salah satu alisnya seraya mengangguk-angguk. “Aku tidak ingin menerima penolakan. Yah, walaupun setidaknya kau sendiri masih ragu dan permainanku belum bisa disebut sah, kau sudah tidak memiliki kesempatan untuk menolakku dan membiarkan Keisha kembali tersakiti.”

“Aku tidak tahu kalau kau selicik ini, Sana.”

Ia pun mengedikkan bahu, menurunkan salah satu alis sembari menghilangkan seringaian di wajah dinginnya, “Kau sudah tahu sekarang.”

Mendadak rasa ketertarikan dan penyesalan di dalam diriku sirna begitu saja. Minatku untuk membicarakan hal kepemilikan bersama Savanna sudah hilang dimakan kekecewaan.

“Sekalipun darahmu sudah ada di dalam diriku, bukan berarti aku tidak bisa menolaknya,” ujarku acuh kemudian berjalan menjauh darinya tanpa menunggu tanggapan dari gadis itu.

Persetan dengan ocehan Rion, Naomi dan Lanna. Mereka hanya tahu apa yang terjadi dari luarnya saja. Mereka tidak tahu apa saja yang telah kuperdebatkan di dalam diriku selama ini atas ucapan mereka yang seakan memaksaku untuk segera menjadikan Savanna milikku.

Mungkin awalnya aku setuju bahwa aku cukup pengecut untuk mendekati Savanna. Aku terlalu takut. Dan saat aku sudah melawan itu, menjadi lebih berani dan hendak mengambil alih hatinya, mengapa aku merasa tengah dipermainkan? Apakah semua werewolf selalu seperti ini?

Dapat kurasakan kedua tanganku mengepal, mengumpulkan seluruh emosi serta kekecewaanku di sana dan melayangkan sebuah tinju pada sebatang pohon ek yang masih muda. Aku membiarkan darah emasku mengalir dari buku-buku jariku serta lekukan lubang pohon yang cukup dalam.

Aku mendesah panjang, memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menarik tanganku dan berjalan menuju rumah dalam keheningan. Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana, berjalan sembari menundukkan kepala seraya berpikir untuk melakukan hal bodoh apa yang bisa kulakukan saat ini.

Namun sebuah geraman seekor serigala menghancurkan ide-ide bagusku, membuatku berdecak sembari mengangkat wajahku malas untuk menatap sepasang mata kelabu.

“Kegelapan akan datang sebentar lagi.”

To be continue

Dixon Abraham [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang