"Ugh!"
Aku mengerang saat Rion mengusap punggungku guna menyembuhkan luka yang kudapat. Kekuatan penyembuhannya tidak seperti para leluhur yang bisa menyembuhkan tanpa menimbulkan rasa sakit. Walaupun begitu, aku masih beruntung memiliki Rion untuk membantu.
"Jangan terlalu ditekan, bodoh! Itu menyakitkan!" Makiku pada Rion yang hanya disahut dengan tawa ringan darinya.
"Tahan, Dixon." Titah Savanna yang lantas membuatku bungkam dan memperbesar suara tawa Rion. Sial.
Suara ketukan pintu terdengar saat Rion hendak berucap sesuatu. Membuat Savanna melangkah menjauh dariku dan membukakan pintu.
Aku dapat mendengar jelas apa yang tengah seseorang itu bicarakan dengan Savanna. Hingga Rion langsung berhenti mengobatiku dan aku yang langsung bangun dari rebahan sembari memakai kaus.
"Iven?" tanyaku.
Savanna bergeser, menampilkan sesosok pria berambut kelabu dan mata emasnya yang begitu familier. Banyak luka di lengannya yang sengaja tak ia tutupi. Membuatku bangkit dari ranjang dan berjalan mendekat ke arahnya.
"Ada apa kau datang kemari?" tanyaku dengan wajah datar.
Iven pun bertatapan dengan Savanna sejenak. Membuatku berdesis dan nyaris memukulnya jika Rion tak menahan tubuhku dari belakang serta Savanna yang meletakkan tangannya di dadaku.
"Iven tidak mengikuti para penyihir hitam. Dan ia ingin berbicara sesuatu padamu," ujar Savanna yang langsung membuatku mendengus dan bersedekap. "Bisakah kita duduk saja di bawah dan tidak berdiri tepat di depan kamarku?"
Aku berjalan dan dengan sengaja menyenggol bahu Iven kasar. Membuat Savanna memperingatiku dalam bentuk telepati dan memintaku untuk bersikap manis walaupun terhadap musuh kami.
Kudaratkan bokongku pada sofa sesampainya di bawah. Kulipat kedua tanganku di depan dada seraya menatap Iven dengan penuh ancaman. Namun ada yang aneh dari dirinya. Tak seperti biasanya ia terima semua perlakuanku dan tidak memberontak.
"Maka dari itu, ia ingin membicarakan sesuatu padamu," ujar Savanna lagi.
Kali ini gadis itu duduk tepat di sampingku dan menyandarkan dirinya pada lenganku. Kedua tangannya pun ikut bersedekap.
"Aku melakukan semua ini karena ada suatu hal yang kusembunyikan darimu selama ini," ujar Iven seraya menopangkan kedua sikunya di atas lutut. "Sesungguhnya selama ini aku tidak berada di pihak Ilegal. Aku hanya sebuah boneka. Mereka menggunakanku untuk mengalihkan perhatianmu dari kegiatan mereka yang sesungguhnya."
Aku masih bungkam, begitupun Rion dan Savanna.
"Sejujurnya aku juga tidak tahu siapa Alpha dari pack Ilegal. Namun, yang aku tahu ia memiliki julukan Masibu. Seorang werewolf dan penyihir yang memiliki sihir kelabu. Sihir yang berasal dari gagalnya penyempurnaan diri menjadi seorang Penyihir Hitam yang dipimpin oleh Sky Gracy Stace—Penyihir Hitam terkuat," jelas Iven.
"Apa tujuanmu memberitahu kami ini?" tanyaku pada akhirnya.
Iven pun menunduk sejenak sebelum akhirnya menatapku lurus-lurus tepat pada kedua mataku. "Agar kau percaya padaku, bahwa aku bukanlah musuh kalian. Bahwa aku berada di pihak kalian. Bahwa aku, kakakmu."
Sebuah memori hitam langsung berdesakan masuk ke dalam benakku. Membuat kepalaku berdenyut sakit saat kupejamkan kedua mata erat-erat. Berbagai warna terlihat berputar-putar seraya perlahan-lahan menampilkan sebuah gambar yang tak asing. Menarikku kepada suatu memori yang sempat hilang dan nyaris tak berbekas sebelumnya.
Aku melihat sesosok pria berambut kelabu serta kedua matanya yang berwarna emas sedang meraih wajah pria di hadapannya marah. Satu tangan besar Iven menekan kedua pipi pria satunya sembari menatapnya dengan marah.
"Aku bilang jangan sembuhkan siapapun dengan darahmu! Kau tuli atau bagaimana, sih?" bentak Iven. "Aku sudah bilang, jangan bagikan darahmu selain kepada matemu! Darahmu itu hanya berhak untuk matemu! Ditambah lagi, gadis itu bukan siapa-siapa, melainkan Putri Kerajaan yang cukup bodoh dan menyedihkan! Berhentilah bersikap peduli, Dixon!"
Dixon?
Aku?
Pria yang sedang memandang balik Iven dengan tatapan marah adalah aku?
Dalam sekejap aku dapat melihat Iven tersingkir dari hadapanku sembari memegangi rahangnya. Matanya terbelalak kaget saat darah emas mulai mengalir dari sudut bibirnya. "Seharusnya aku yang marah padamu, Iven! Karenamu aku kehilangan gadis itu! Ia adalah mateku! Karena sikapmu yang tak peduli itulah yang membuat semua orang membencimu dan membuatku kehilangan segalanya! Terlebih lagi kau adalah seorang werewolf, musnahlah kau di Vamps, sial!"
Dan kemudian aku berjalan menjauh dari Iven, entah pergi kemana. Hingga warna-warna itu kembali melebur menjadi satu, berubah menjadi asap kelabu yang membawaku kepada gambar lainnya.
Entah bagaimana caranya aku bisa berada di depan takhta Raja Xavier sembari menunduk, satu-satunya yang kuketahui ialah hanya beliau-lah yang kuketahui bisa menghapus memori seseorang. Ya, aku ingin Raja Xavier menghapus memoriku tentang seluruh keluargaku.
Di luar dugaanku, Raja Xavier dengan mudahnya menyetujui keinginanku dan dalam hitungan detik, ia telah selesai melakukan keinginanku. Kemudian aku tersadar, dengan menghilangnya memori akan keluargaku, memori lainnya yang telah terjadi pada masa laluku—Dendra Vlanosk—kini menggantikan posisi Iven, ayah serta ibu di benakku.
Kemudian gambar-gambar masa lalu itu kembali melebur menjadi satu, berubah menjadi kabut yang mengelilingi pandanganku. Mereka seolah merayuku untuk tertidur, hingga tanpa kusadari, aku telah jatuh kepada rayuan itu.
To be continue
Aku tahu ini terlalu pendek. Huhuu😢😢 gada ide lagi soalnya. Maapkeun. Ini terlalu mengecewakan, parah😢😢 kuusahakan untuk next chapt lebih panjang dan gak payah kayak yang ini😢😢
See you laterr♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Dixon Abraham [PENDING]
FantasyKeputusan Raja dan Ratu Ave sangat tepat saat mengutus anak sulungnya untuk memimpin pack yang berada di Vamps. Selain dapat membubarkan pack ilegal yang berada di pulau kami, ia juga dapat bertahan hidup dengan baik bersama jiwa Vampir serta Werewo...