12. Why, Naruto?

4.6K 544 56
                                    

NOT CINDERELLA

Disclaimer by: Masashi Kisimoto
Story by: Elvana Mutia

Part 12 : Why, Naruto?

Hinata melangkah gontai menuju apartemennya, beruntungnya dia karena sepanjang koridor tidak ada satu pun orang yang ia temui, jadi Hinata tidak perlu repot-repot berpura-pura angkuh saat ini. Setelah menekan nomor kombinasi dan masuk ke apartemennya, Hinata melepas sepatu heelsnya dan memakai sandal rumahnya.

Aroma masakan menarik atensinya saat ia memasuki ruang tamu. Manik bulannya menangkap sosok Naruto yang sedang berkutat di dapur seolah-olah pria itu adalah chef handal. Hinata melanglah mendekat, sepertinya Naruto tidak menyadari kehadirannya.

"Naruto." panggilan dari Hinata menarik perhatian Naruto yang semula fokus pada masakannya. Ia tersenyum lebar, senyum yang mampu menggetarkan hati Hinata. Tapi itu dulu, sekarang semuanya sudah berbeda.

"Hinata, akhirnya kau datang juga." Hinata tertegun, bahkan setelah apa yang ia katakan untuk menolak Naruto, tapi pria itu masih bisa bersikap baik seperti ini. "Aku yakin kau belum makan kan? Jadi aku memasak sesuatu untukmu."

"Langsung intinya saja, Naruto. Aku lelah." Hinata masih berdiri di dekat ruang tamu, jarak mereka terhalang oleh meja bar dapur. Naruto menghela nafas lelah, tatapannya terlihat sendu kali ini.

"Setidaknya untuk malam ini, bersikaplah seolah aku hanya seorang Uzumaki Naruto dan kau Hyuuga Hinata. Lupakan hubungan konyol yang membelit kita."

Hinata membuang tatapannya ke arah lain, ia tidak tahan jika terus menatap wajah memelas Naruto. "Kau bilang ingin membicarakan hal penting."

Naruto mematikan kompor dan mengambil langkah lebar untuk berdiri tepat di hadapan Hinata. Hinata kini mendongak untuk beradu tatapan dengan manik safir itu.

"Hinata." Naruto menangkup wajah Hinata dengan tangan kanannya dan menghapus jarak sampai hidungnya menyentuh hidung Hinata.

"Kurasa hal penting yang kau maksud hanya omong kosong." ucap Hinata sedikit berbisik. Naruto terkekeh tanpa menghapus jarak, membuat nafasnya menerpa wajah ayu Hinata.

"Kau tau aku suka berbasa-basi." Naruto menarik wajahnya menjauh dan menatap Hinata penuh perasaan. "Ayo kita makan, dan akan kukatakan apa yang harus kau dengar."

Hinata mengangguk pelan sebelum membiarkan Naruto menarik tangannya menuju meja bar dapur dan mendudukkannya di kursi tinggi. Kalau Hinata pintar menciptakan atau mengubah keadaan seperti yang ia mau, maka Naruto pintar mengambil peluang dalam suatu keadaan. Bahkan di saat ia harus mengatakan suatu kebenaran, ia masih meyelipkan momen kebersamaan dengan Hinata.

"Aku menyiapkan ini untukmu." ucap Naruto sambil menyodorkan sebuah mangkuk dengan asap mengepul diatasnya pada Hinata.

Hinata menautkan alisnya menatap mangkuk itu sebelum menatap Naruto yang mempertontonkan senyum di wajahnya. "Ramen?" tanya Hinata.

Naruto tertawa renyah sambil menggaruk tengkuknya dengan tangannya yang bebas. "Hanya ini yang bisa kumasak." ucapnya. Hinata tersenyum tulus lalu mengambil alih mangkok ramen itu dari tangan Naruto.

"Aku menghargai itu selama kau tidak menaruh racun didalamnya."

Naruto tertawa renyah lalu mengambil duduk di samping Hinata. "Kau tidak berfikir aku akan melenyapkan gadis yang kucintai kan?" ujar Naruto diakhiri kekehannya.

Hinata terkekeh. "Siapa yang tahu cara kerja cinta menggelapkan otak." Hinata tersenyum tipis sebelum meraih sumpitnya dan mulai memakan masakan Naruto. Jujur saja sejak tadi memang belum ada masakan apapun yang menjamah lambungnya.

Not CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang