13. Titanium

4.7K 570 104
                                    

NOT CINDERELLA

Disclaimer by: Masashi Kisimoto
Story by: Elvana Mutia

Part 13 : Titanium

Suara isakan terdengar menggema di aula mansion Hyuga. Setelah dinyatakan meninggal dunia semalam, jasad mendiang Hiashi telah di pindahkan ke dalam peti yang kini berada di sudut ruangan. Setelan jas lengkap dengan dasi dan sarung tangan menjadi pakaian terakhir pria paruh baya itu. Beberapa karangan bunga sebagai tanda bela sungkawa dari berbagai rekan bisnis terlihat menghiasi peti yang masih tertutup selembar kain renda.

Didepan peti, seluruh rekan dan kerabat terdekat terlihat duduk di atas lantai dengan pakaian serba hitam. Hinata yang berada di barisan depan terlihat menatap kosong pada foto ayahnya yang dibingkai apik di hadapannya. Di depannya, Hanabi terlihat bersimpuh dan terisak cukup keras.

Sentuhan lembut di bahunya membuat Hinata mengerjap pelan lalu menoleh. "Neji-ni?" lirihnya. Neji tersenyum sendu lalu menyamankan duduknya di samping Hinata.

"Aku mengambil penerbangan tercepat begitu mendengar kabar ini." ucap Neji. Ia menatap lurus ke foto pamannya itu dengan sendu. "Jii-san sudah seperti ayahku sendiri."

"Aku senang setidaknya kau menepati janjimu." Neji menatap Hinata bingung. "Kau pulang sebelum salju pertama turun. Itu kan janjimu?" Hinata tersenyum getir.

Neji mengusap bahu Hinata lembut, berusaha menyalurkan kehangatan seorang kakak pada adiknya. "Apa Hanabi menangis sepanjang malam?" tanya Neji saat matanya menangkap tubuh Hanabi yang terisak di depannya.

"Dia bahkan tidak beranjak dari sana sejak jenazah Tou-san tiba." Hinata dapat mendengar helaan nafas dari Neji sebelum akhirnya pria itu beranjak mendekati Hanabi.

"Nii-chan." pekik Hanabi setelah melihat siapa yang menyentuh bahunya lembut. Ia segera berhambur memeluk Neji dan terisak dalam dekapannya. Hinata tau, Hanabi pasti merasa sangat kehilangan, sama seperti yang dia rasakan sepuluh tahun lalu.

Hinata menolehkan kepalanya ke samping saat merasakan seseorang duduk di sana. Ia dapat melihat wajah tenang Sasuke yang menatapnya teduh. "Sebentar lagi upacara pemakaman akan dimulai."

Hinata tersenyum tipis, namun senyum kali ini terlihat sendu dan Sasuke tau itu. Tiba-tiba seseorang duduk di sisi Hinata yang satunya, hal itu membuat perhatian Sasuke dan Hinata teralihkan.

"Hanabi pasti tertekan." ucap sosok itu yang ternyata adalah Naruto. Hinata menatap pria itu dengan puluhan pertanyaan yang berputar di kepalanya seputar kecelakaan ayahnya yang berusaha pria itu tutupi.

Hinata mengalihkan tatapannya pada Hanabi yang masih terisak dalam dekapan Neji. "Saat melihat Hanabi, aku seperti melihat diriku yang dulu." gumamnya. Sasuke dan Naruto menoleh kearahnya bersamaan, dan Hinata dapat merasakan itu. Ia tersenyum sinis. "Tapi aku tidak akan membiarkan dia terpuruk sendirian sepertiku."

Sasuke tak habis fikir. Sejak dokter menyatakan Hiashi meninggal dunia, belum ada satu tetes pun air mata yang ia lihat mengalir di pipi Hinata. Entah terbuat dari apa hati gadis ini. Besi? Baja? Perak? Titanium?

"Kau tidak sendirian, Hinata. Aku selalu di pihakmu." Naruto menggenggam tangan Hinata yang berada dipangkuan gadis itu, namun Hinata melepas genggaman tangan itu dengan tenang.

"Kau tidak berada di pihakku sejak kau menutupi kenyataan itu." Hinata masih bersikap tenang, bahkan terlampau tenang meskipun logikannya sedang terguncang.

"Apa yang kau bicarakan, Hinata?"

Hinata melirik sekilas ke arah Naruto lalu tersenyum sinis. "Jangan berlagak seolah kau tidak tau apa pun. Bibi dan sepupumu yang berada di balik peristiwa kecelakaan Tou-sanku, kau jelas tau itu dan kau bahkan berpura-pura tidak tau. Apa yang ada otakmu? Kau mau menjilat ludahmu sendiri dengan menjadi bagian dari orang yang kau benci?" Hinata tertawa merendahkan, matanya menatap ke arah kedua anggota keluarganya yang tersisa di depannya. "Tidak kusangka harga dirimu serendah itu."

Not CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang