Satu Bulan Setelah Kita Berpisah

55 1 0
                                    

Aku bangun dari tidurku tepat pukul delapan pagi tadi. Otakku seolah berputar memikirkan tanggal dan hari saat ini. Tiba-tiba aku teringat bahwa hari ini, tepat satu bulan kita tak bersama kembali. Dan selama ini, sosokmu tak sedikitpun mampu aku lupakan.

Malam ini, Ditemani kopi pahit yang entah sejak kapan aku sukai, aku menatap butir air hujan yang jatuh melalui jendela kamarku, sambil mengaduk kopi yang bahkan tak berasa apapun di lidahku saat ini.

Aku tersadar bahwa telah dua minggu aku pergi dari kota dimana kita bertemu. Dan kau masih menetap disana entah dengan siapa dan bagaimana. Entah sedang apa atau tak lagi ada. Aku tak tahu bagaimana keadaanmu.

Apa kau baik-baik saja?
Apa masih ada aku di dalam pikiranmu?
Apa tak ada inginmu untuk kembali?
Apa tak ada jiwamu untuk mengunjungi?
Jika aku boleh jujur, ragaku memang ada di tempat ini. Tapi sejujurnya, pikiran dan hatiku masih tetap bertahan di tempat dimana kau berada. Tempat dimana kita memulai segalanya.

Ingin aku menghentikan langkahmu untuk tidak pergi. Tapi aku terlalu malu untuk kembali memintamu bertahan. Bahkan ketika ku lihat, tampaknya kau baik-baik saja saat kita berpisah. Bahagiamu masih sama tanpa diusik sedih kehilangan.

Hari-hariku memang masih berjalan. Tapi taukah kamu bahwa tidak ada hari dimana aku lebih bahagia saat ini dari pada saat bersamamu? Tak tau kah kamu tiada seorang pun yang mampu membuatku jauh lebih bahagia selain kamu? Tak tahukah kamu saat kau bahagia tanpa aku, aku malah masih bergelut dengan luka yang sangat pedih?

Sayang, beri aku kesempatan kedua untuk memperbaiki segalanya. Aku ingin memperbaiki dan mengatakan beberapa hal yang belum sempat aku ceritakan padamu.

Kututup mataku merasakan air hujan yang mulai mengenai wajahku. Aku mulai menyukai hujan saat kau memutuskan tak menetap dan tetap pergi. Namun saat ada petir menyambar, seklebat bayangan tentangmu pun sering muncul.

Masih kuingat jemari tanganmu yang mampu menghangatkan segalanya. Belaian lembutmu di puncak kepalaku bahkan belum ku lupakan. Bahkan masih terasa walau sudah mulai memudar.

Seandainya semua sangat mudah dilupakan, aku tak mungkin masih mengingat semuanya. Aku tak mungkin masih mengigat sosokmu yang mampu membuatku tertawa. Aku tak mungkin ingat kapan pertama kali kau menyatakan semuanya.

Sesak itu masih terasa. Walaupun aku tak tahu apa yang salah dari hubungan kita. Tapi inginku, walaupun mustahil, Aku ingin kau pulang. Karena tak kurasakan nyaman saat di rumah yang tidak ada kau.

Biarlah.
Biarlah egoku menguasai ragaku. Tak apa. Tak apa bibirku tak mampu berkata karena ego. Tapi satuhal yang pasti, rumah yang kubangun telah hancur sebagian. Dan ia butuh kamu untuk melengkapi kepingan puingnya dan membuatnya kembali nyaman. Dan menjadi RUMAH kembali.

Kumpulan PuisiHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin