to Fondle.

2.9K 172 15
                                    

Siang yang basah dan sedikit mendung. Matahari urung keluar dari balik awan hitam. Jakarta diguyur hujan sejak pagi tadi, membuat siapa pun lebih memilih meringsek di atas kasur, ketimbang menjalani aktifitas seperti biasa. Tapi, tidak berlaku dengan gadis pintar nan rajin itu. Zulika, atau Lika.

Lika tengah mengikat rambutnya, ia bersolek sebentar dan menaburkan bedak bayi di wajahnya. Tersenyum kecil lalu melangkah keluar untuk pergi ke kampus. Ia mengunci kamar kontrakan satu petak yang ia huni selama tiga tahun terakhir. Ponselnya bergetar saat Lika hendak merosot turun dari lantai dua.

Satu buah panggilan dari nomor tidak dikenal. Lika mengerutkan alisnya, menimang-nimang, siapa yang menelfonnya saat ini. Mengedikkan bahunya lalu menggeser pada gagang hijau di badan benda pipih itu.

"Haloo.." Lika bersuara pelan,

"Hei, Tutor." suara di sebrang telfon membuat Lika mematung sejenak. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena ia jatuh hati, itu karena ia takut dengan lelaki itu.

"Kau..dapat nomorku dari mana?" Lika menuruni anak tangga pada akhirnya, dengan masih menempelkan ponsel pada telinganya.

"Apa itu penting?"

Lika menelan liurnya. Apa itu penting?

"Err-"

"Aku tidak ke kampus hari ini, sekarang hujan, jadi aku malas. Lebih baik kau ke rumahku saja jika ingin memulai pekerjaanmu,"

"Err-, a-aku...emm.."

"Aku akan mengirim alamatku lewat pesan, jangan terlambat. Atau aku cabut beasiswamu."

Sambungan terputus. Lelaki itu membuat Lika ingin melompat dari atas Monas. Ia ingin menggigit dirinya sendiri, mencekik lehernya tapi itu terlalu sakit. Lika menggeleng cepat, ia ingin berteriak dan mengeluarkan api dari tenggorokannya.

Kenapa ini harus terjadi, sih?

Untuk pertama kalinya, Lika benci menjadi orang pintar yang dapat beasiswa.

Jalanan masih cukup basah, Lika turun di depan kompleks perumahan elite di daerah Sinabung. Setelah membayar sejumlah uang pada supir angkutan dengan uang pas, ia melangkahkan kakinya masuk semakin dalam. Tujuan utamanya adalah Pos Keamanan yang berada di depan gerbang kompleks. Lika bertanya pada satpam berperut buncit itu alamat dan blok tempat tinggal Samuel. Dengan sigap, satpam yang diketahui bernama Agus itu mengantar Lika sampai ke depan rumah Samuel.

"Terimakasih, Pak." Lika tersenyum manis, saat tubuhnya terjun dari atas motor bebek berwarna biru milik Agus.

"Sama-sama, neng. Hati-hati, ya." ujar Agus memperingatkan, Lika mengangguk ragu dan menatap satpam itu bergegas pergi dari rumah besar nan megah di hadapannya..

Lika mengernyit, hati-hati? Apa maksud perkataan satpam itu? Dia sedikit bingung, selebihnya, tidak ia fikirkan lagi. Kaki pendeknya berjalan mendekati rumah itu, dilihatnya ada dua orang penjaga bertubuh tegap bak pemain smackdown. Lika menelan liurnya, ia sedikit ragu. Tapi dengan tekad karena tidak mau mendapati beasiswanya dicabut, Lika akhirnya memberanikan diri.

Satu dari dua orang penjaga itu menghampiri Lika sebelum gadis itu menginjakkan kakinya di anak tangga. Wajah sangar dan sadis membuat bulu roma Lika berdiri.

PreciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang