Udara pagi yang mendung menjanjikan hujan menggelayuti tubuh mungil Lika. Ia bergidig kedinginan. Ini hal yang amat jarang terjadi, Jakarta terasa seperti puncak gunung saat ini. Lebih dingin dan menyejukkan. Gadis itu beranjak dan merenggangkan otot-ototnya setelah mendapatkan tidur nyenyak semalaman.
Mengambil handuk yang ia gantung di belakang pintu kamarnya, Lika pun langsung ngeloyor ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Selang beberapa waktu, Lika keluar dengan keadaan bersih dan wangi. Wajah cerah dan sedikit memar yang masih mewarnai sudut tulang pipinya itu tidak menyurutkan niatnua untuk berangkat ke kampus. Luka lebam itu masih bisa ditutupi dengan BB Cream, pikirnya.
Setelah bersiap, gadis itu berangkat ke kampusnya dengan menumpang bus umum.
Setelah hampir satu jam kemudian, dia sampai dan langsung menuju gedung fakultasnya. Dengan kepala tertunduk, Lika sampai dan duduk di bangku yang tersambung di antara pilar-pilar kokoh gedung itu. Ia membuka buku untuk menbaca seperti orang pintar pada umumnya. Dia memakai kacamata minus dan mulai membaca halaman demi halaman buku tebalnya itu. Dan dari kejauhan, Samuel mengembangkan senyuman di kedua sudut bibirnya saat melihat Lika sedang sendiri sambil duduk bersila. Samuel langsung menghampiri gadis itu untuk mengatakan sesuatu yang sudah ia siapkan dari semalam.
"Hai!" sapanya dan lelaki itu lantas duduk terjun di depan Lika. Gadis di depannya hanya bergeming.
"Hallo!" Sam melambaikan tangannya dan Lika melirik tanpa merubah posisi kepalanya.
"Apa?" tanyanya singkat, dingin dan Lika mencoba terlihat untuk sedatar mungkin.
"Kemana kau tiga hari ini? Seharusnya kau mengajariku 'kan?" seolah tanpa dosa, Sam mengatakan itu. Padahal dia belum sama sekali melontarkan permintaan maaf atas kejadian tempo hari yang menyebabkan Lika harus masuk ruang UGD.
"Aku sedang tidak dalam mood baik untuk mengajarmu," jawabnya disertai helaan nafas lembut. Lika melempar tatapannya ke lembaran buku lagi.
Sam berkedip, mencoba menghafal lagi kalimat yang sudah susah payah ia hafalkan sampai lewat tengah malam itu.
"Lika, soal itu-"
"Sudahlah, Sam. Tidak perlu kau bahas lagi." Lika lantas menyambar sebelum Sam meneruskan kalimatnya. Lika melipat bukunya dan menyimpan rapi di dalam ransel secepat mungkin. Ia beranjak dan hendak pergi dari sana sebelum tangan rampingnya dicekal oleh Sam.
Gadis itu melerai cekalan tangan Sam lebih cepat dari yang Sam kira.
"Jangan sentuh aku, Sam."
Sam menaruh tangannya di udara, lalu "Aku tidak akan. Aku hanya ingin kau mendengar permintaan maafku."
Alis Lika otomatis terangkat.
"I'm listening." ucapnya datar.
Sam mengambil nafas panjang lalu menghembuskan dengan cepat, ia menatap jauh ke dalam manik mata Lika. Dan gadis itu masih memasang wajah datar. Sam menggigit bibir atasnya, tiba-tiba saja ia mengalami amnesia akan kalimat yang ia hafal selama semalaman penuh. Sam kehilangan kosa katanya saat menatap Lika.
Sam menggeleng frustasi. Kenapa lidahnya terasa kelu dan sulit mengungkapkan sepatah kata pun? Ia tak tahu kenapa. Tatapan datar dari sorot mata Lika begitu mengintimidasinya.
"Kalau kau tidak bisa mengatakan -maaf- padaku, itu tidak apa, Sam. Aku tidak memintamu untuk melakukannya. Seharusnya itu dari kesadaran dirimu sendiri." Lika akhirnya tersenyum, kecut.
"Maaf, Lika. Aku sungguh minta maaf padamu-"
Gadis itu mengulum mulutnya.
"Uh, aku benar-benar tidak terbiasa memendam amarah seperti ini. Itu membuat hatiku sesak. Jadi, permintaan maafmu aku terima." Lika tersenyum ramah, membuat hati Sam ketar-ketir karena senyumannya. Lelaki itu mencoba untuk menahan diri agar tidak terlihat...terpesona?
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious
General FictionSamuel Soediro, pewaris tahta kerajaan mafia yang dipimpin langsung oleh Ayahnya. Nuraninya sudah sirna sejak kepergian Ibu dan kedua Kakaknya. Selalu memandang rendah orang lain, membuat orang lain selalu berada di bawah kakinya. Penikmat selangkan...