Sebelas
Apakah ini rasanya memiliki seorang teman?
Mereka membantumu dan tetap tidak meninggalkanmu sekalipun mereka tahu tentang masa lalumu.
"Haaahhhh.. Sorry sha.. Bapak komandan masih belum nemu info tentang bokap lo." Mey berbaring telentang di lapangan basket sekolah mereka sore itu.
Ia merasa sedikit putus asa dengan usaha dirinya.
Mereka semua sudah sepakat untuk membantu Marsha mencari ayah dan kakak kandungnya. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan jejaring komunikasi yang dimiliki oleh ayah Mey.
Sayangnya, semua itu masih belum maksimal. Pencarian dengan nama ayah kandung Marsha tetap tidak ditemukan. Mey bahkan sempat meminta tolong pamannya yang bekerja di imigrasi untuk membantu. Tapi tetap tidak ada hasil. Kemungkinan terbesar yang ada saat ini adalah ayah kandung Marsha sudah mengubah namanya apalagi mengingat ayah Marsha sudah menjadi seorang mualaf.
Tidak banyak informasi lagi yang Marsha tahu tentang ayah dan kakak kembarnya itu. Ia hanya tahu tentang kakeknya yang sudah meninggal, dan semua orang di rumah itu pindah ke Jakarta. Dirinya bahkan tidak ingat dengan pekerjaan ayahnya itu. Dan itu semua terjadi beberapa tahun yang lalu, saat dirinya masih bocah kecil tak tahu apa-apa.
Hanya satu orang yang Marsha yakin masih memiliki informasi seputar ayahnya.
Mama.
"Mungkin emang belum saatnya kita dipertemukan, Mey." Marsha kembali menatap langit senja berwarna orange itu.
"Jangan putus asa dulu sha. Gue yakin orang yang lo cari itu sebenernya deket sama lo. Di film-film kan juga gitu." Celetuk Alex.
"Yeilehhh.. kebanyakan nonton sinetron ente."
"Udah sore nih, kita balik yuk." Seruan Raka membuyarkan Marsha dari lamunannya yang panjang.
"Kalo gitu gue ke toilet dulu bentar."
"Mau ane temenin sha?" Mahmud langsung berdiri.
"Apa sih lu. Ngikut-ngikut, mud." Raka mencegah Mahmud untuk mengekor Marsha.
Terlihat jelas dirinya merasa keberatan.
"Gue aja yang temenin. Awas lo kalo ngikut." Pelotot Mey kepada Alex yang juga hendak berdiri.
"Udah-udah. Gue sendiri aja Mey, ke toilet doang. Udah gede kali." Sela Marsha, ia takut kalau tidak dicegah lama-lama mereka semua juga ikut mengawalnya ke toilet.
"Beneran nih?" tanya Mey.
"Iya gapapa. Lagian kalian juga harus nyimpen bola basket juga kan. Bentar kok gak lama. Tungguin gue ya."
Dan begitulah Marsha pergi ke toilet tanpa berhasil dikawal oleh Mahmud dan yang lainnya.
Sedikit kekecewaan bahkan sempat terlihat jelas di wajah Alex. Kesempatannya untuk memastikan perasaan Marsha kepada Raka hilang sudah.
"ck...ck...ck... Si Marsha emang beda. Cuman dia cewek yang ane kenal kagak pernah ke wc ditemenin." Mahmud menggeleng seraya berdecak kagum melihat langkah Marsha yang semakin menjauh.
"Gue juga kagak pernah ditemenin kok kalau ke toilet!" seru Mey.
"Lah.. ente kan lain Mey, emang ente cewek?" tanya Mahmud polos.
Dan sebuah bola basket melayang tepat menuju wajah polos Mahmud.
15 menit berlalu...
"Kok lama ya?" tanya Raka yang mulai gusar.
"Namanya juga cewek ka.. dandan dulu kali, biar keliatan seger di depan lo.." celetuk Alex menyindir Raka.
Semburat merah tiba-tiba terpatri jelas di pipi Raka.
Raka hanya nyegir disindir seperti itu oleh Alex. Dari ketiga sobatnya itu Alex lah yang instingnya paling kuat diantara mereka.
Tahu aja dia ada yang aneh dalam hati Raka terhadap Marsha.
Tapi perkataan Alex tetap tidak menghilangkan rasa khawatir di benak Rakak. Gimana kalau terjadi sesuatu dengan Marsha? Apa mungkin ada yang tiba-tiba ngejahilin Marsha di toilet?
Tapi mana mungkin!
Ini sudah terlalu sore dan mayoritas semua anak-anak sudah pulang dari jam lima tadi. Atau mungkin Marsha kepeleset dan gak bisa berdiri karena gak ada yang bantuin?
"Gue mau nyusul ah.." jelas Raka
"Woooy.. santai bro.. bentar lagi juga datang." Cegah Alex. Dirinya tahu Raka tipe yang mudah khawatir. Tapi ia yakin Marsha baik-baik saja.
"Tuh..tuh.. your fallen angel is here..."
Raka akhirnya dapat bernafas lega, sosok Marsha dari kejauhan tengah berjalan mendekati lapangan basket.
Dan kala itu adalah sore terakhir Raka melihat senyuman di wajah Marsha.
###
"Mas.. Ini mas Raka kan yah? Ini Mbak Mayang mas, pembantu di rumah non Marsha. Tolong mas.. tolong saya.."
Sebuah telfon dipagi buta membuat Raka terbangun sepenuhnya dari tidurnya. Sebuah panggilan yang ia harap tidak pernah terjadi sedetikpun.
"Kenapa mbak? Bicara yang jelas. Raka gak ngerti.."
"Tolong mas... Mas Raka bisa kesini? ini non Marsha... pintu kamar mandinya dikunci mas. Dari kemarin sore ngurung diri di kamar mandi. Mbak tuh takutnya non Marsha kenapa-kenapa. Mbak gedor-gedor pintunya non Marsha ndak mau keluar. Mungkin kalau mas Raka yang bujuk si non mau buka pintunya." Ucap suara disebrang telefon dengan penuh isak tangis.
"Iya mbak.. Raka kesana sekarang. Mbak sama Pak Putu tenang aja. Terus ajak ngobrol Masha di dalam. "
###
02.58
20 menit Raka habiskan waktu diperjalanan untuk sampai ke rumah Marsha. Begitu ia datang, Pak Putu sang penjaga sekaligus supir di rumah Marsha dengan sigap langsung membukakan pintu gerbang untuknya.
Dan Pak Putu langsung membawa Raka menuju kamar Marsha di lantai dua.
Pemandangan Mbak Mayang yang berlinangan air mata langsung menyambut kedatangan Raka di rumah besar itu.
"Sha... lo di dalam kan? Ini gue Raka."
Sejenak tidak ada jawaban sedikitpun dari dalam kamar mandi saat Raka mengetuk pintu bercat putih dihadapannya itu.
"..."
"Sha... Ngapain lo di dalam? Ayo keluar, Mbak Mayang sama Pak Putu khawatir sama lo."
"..."
"Sha... buka pintunya.."
Raka akhirnya hanya bisa terduduk lemas setelah beberapa kali mencoba mengetuk pintu kamar mandi dihadapannya itu. Sekilas sekelebat rasa takut menghantui kembali hati Raka, rasa takut yang pernah ia kenal dulu di masa lalunya.
"Gue mohon sha.. jangan bikin gue takut. Gue ada disini buat lo. Kita semua bakal ada buat lo. Gue, Mahmud, Mey, Alex, Mbak Mayang dan Pak Putu gak akan pernah ninggalin lo. Karena itu gue moh-"
"Gue capek ka..." sebuah suara lirih kini terdengar dibalik pintu.
"Gue capek hidup di dunia ini..."
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka
Teen FictionBahkan seorang pencuri cilik pun bisa taubat dan jadi seorang ketua osis yang bertakwa sama Allah swt, yang disegani di seluruh sekolah, bahkan jadi calon suami idaman bagi semua cewek satu sekolah. "Emang cuman gue sih yang bisa lakuin itu!" Raka m...