“Vasha!!!” aku pun menoleh saat namaku dipanggil seseorang. Viko, sahabat sekaligus orang yang aku cintai, berlari menghampiriku lalu mengacungkan sebuah buku yang tak asing bagiku.
“Titip ke Marsha ya, kemarin habis gue pinjem dan sampein makasih gue ya,” ada rasa sedih saat tahu bahwa ia lebih memilih untuk meminjam buku Marsha dibandingkan bukuku. Biasanya, disaat ia tak masuk sekolah ia akan meminjam bukuku namun saat ini kenyataannya ia tidak melakukan itu lagi.
“Vasha?” lamunanku terhenti saat ia mengguncangkan bahuku. Aku pun menjadi tergagap menjawabnya, “Eh, hm, oke, gue balik dulu ya, daahhh,” tanpa menunggu balasannya aku berlari menuju halte untuk menunggu bus. Samar-samar kudengar ia berteriak namun tak dapat kudengar dengan jelas.
Sesampainya di halte, aku langsung duduk di tempat duduk yang telah disediakan untuk menunggu bus. Kulihat di jam tangan kesayanganku waktu telah menunjukkan pukul 4 sore. Bus akan datang lima menit lagi. Disaat seperti ini bus akan sepi sedangkan saat jam 5 nanti aku jamin aku akan sampai rumah jam 7 malam.
Langit begitu gelap, kurapatkan jaketku untuk mengusir dingin yang menyerang. Sudah terlihat dari kejauhan bus yang akan mengantarkanku sampai rumah, aku pun bersiap-siap lalu berdiri.
Namun saat akan memasuki bus, aku tertabrak sesuatu atau lebih tepatnya seseorang. Kami sama-sama terjatuh dan barang-barang ditanganku berserakkan. Seseorang yang menabrakku tadi sepertinya tak membawa apapun hanya tas punggung yang sempat kulihat dari sudut mataku.
Lalu ia berdiri dan masuk ke bus tanpa menoleh padaku. Bahkan untuk sepatah kata maaf pun tak terucap di mulutnya. Emosiku langsung memuncak. Apa kata maaf itu terlalu sulit diucapkan?
Kukumpulkan barang-barangku yang berserakan dan juga buku Marsha yang diberikan Viko tadi dengan cepat. Aku tak mau bus tersebut meninggalkanku karena bus selanjutnya akan datang tiga puluh menit lagi. Dan aku tak mau menunggu selama itu. Pada saat akan mengambil buku Marsha, terlihat sesuatu mencuat keluar dari dalam buku tersebut. Namun tak kupedulikan itu.
Aku pun segera masuk ke dalam bus. Benar dugaanku, bus ini tak terlalu ramai bahkan masih banyak terlihat kursi kosong. Aku pun menuju bagian yang kusuka, sebelah kiri dekat jendela bus. Sempat terlihat olehku siluet orang yang menabrakku tadi. Ternyata ia adalah seseorang laki-laki yang aku perkirakan berusia kurang lebih dua puluh tahun.
Dan apa kalian tahu apa pendapatku tentang dia?
Dia tampan. Alis tebalnya begitu mempesona. Aku begitu menyukai laki-laki beralis tebal karena mereka terlihat manis menurutku. Selain itu kulitnya putih tapi bukan putih pucat. Ia terlihat begitu tenang dan damai dengan earphone di telinga dan mata tertutup.
Dan dari gaya dan penampilannya ia dari golongan menengah ke atas atau mungkin lebih dari itu. Entahlah. Mungkin kalian berpikir, dari mana aku tahu?
Keadaanlah yang telah membuatku gampang mengetahui kondisi sosial seseorang. Sekolahku yang berstandar internasional dan rumah orangtuaku yang berada di perkomplekan kalangan atas membuat aku gampang mengenali bagaimana penampilan orang kalangan atas.
Mungkin kalian heran, jika aku sudah sekaya itu, mengapa aku rela naik bus? Dan dengan senang hati kujawab, itu semua harta orang tuaku, aku terbiasa hidup sederhana. Aku tak suka hidup berlebihan dan bermewah-mewahan serta serba difasiliitasi. Seberapapun orang tuaku memintaku untuk membawa mobil sendiri atau mungkin diantar jemput supirku yang tak kuhapal berapa jumlahnya akan aku tolak mentah-mentah. Semua itu kulakukan karena aku tidak ingin terbuai dengan harta itu dan aku ingin membiasakan hidup mandiri serta aku ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi masyarakat kalangan bawah. Karena menurutku, kita hidup tak selamanya di atas atau di bawah, bukankah bumi itu selalu berputar?
Sejauh ini aku berhasil melaluinya tanpa mengeluh. Banyak teman-teman di sekolahku tak mau berteman bahkan dekat denganku karena kebiasaan dan pribadiku itu.
Oke. Cukup sudah membahas tentang hidupku. Kita kembali ke dunia nyata. Laki-laki yang menabrakku tadi duduk tak jauh dariku sehingga aku bisa bebas memandangnya. Aku hanya bisa memaafkannya tanpa harus mendengar permintaan maafnya, karena bagiku, Tuhan aja pemaaf, kenapa kita tidak?
Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang terselip di buku Marsha tadi. Aku dan Marsha memang terbiasa membuka barang kami tanpa meminta izin karena kami selalu terbuka dalam segala hal. Kubuka buku Marsha lalu melihat halaman per halaman buku itu untuk mencari sesuatu yang terselip tadi.
Dan sampailah di halaman yang kucari. Ternyata yang terselip tadi adalah amplop. Amplop berwarna biru muda dengan background laut yang indah. Lalu kubalikkan amplop tersebut dan terteralah disana dari dan untuk siapa surat itu dituju, dari Viko untuk Marsha.
Dan kalian sudah pasti bisa menebak bagaimana rasanya hatiku?
Ada sesak yang menyakitkan bagiku. Pandanganku telah buram karena air mata. Mengapa sesakit ini?
Mengapa hanya karena mengetahui pengirim dan penerima surat ini membuat hatiku sakit? Apa aku sudah terlalu dalam mencintai Viko? Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku tak ingin mereka merasakan sakit seperti ini. Biar aku saja yang merasakan. Aku rela.
Walau aku tak tahu apa isi surat itu, aku tak berniat mencari tahu. Karena hanya dengan melihat amplop itu aku menjadi sesak, bagaimana jika aku membacanya? Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi.
Kuletakkan kembali surat cantik itu pada tempatnya semula. Di buku catatan Marsha. Aku tersentak dari lamunanku saat melihat laki-laki yang menabrakku, ah aku akan memanggilnya pemuda tampan, berjalan keluar bus. Aku menoleh ke jalanan luar dan seketika aku teriak, “Tunggu Pak Sopir! Saya turun disini!”
Untung saja sopir belum menjalankan kembali bus, jika tidak, jarak antara rumahku dan halte selanjytnya sangatlah jauh. Ini saja sudah jauh dari halte tempat aku biasa turun. Dengan segera aku turun. Pemuda tampan tadi telah hilang entah kemana. Dengan lunglai aku berjalan menuju rumahku yang letaknya dua blok dari perkomplekkan ini dan itu kira-kira jaraknya satu kilometer.
Olahraga sore dengan tas berisi penuh dengan buku bacaan dan beberapa buku tugas ditangan bukan ide buruk menurutku. Palingan saat sampai dirumah nanti, aku akan tidur dan bangun di keesokkan harinya! Ide bagus Sha! Sangat bagus!
Buku bacaanku tentu saja bukan buku pelajaran. Semua buku pelajaranku aku simpan di loker sekolah dan yang aku bawa hanyalah buku bacaan untuk selingan saja. Buku bacaanku bukan seperti buku bacaan remaja kebanyakan. Sebagian besar tentang pengetahuan umum di berbagai bidang. Dan beberapa novel roman untuk hiburan sesekali.
Aku berjalan menyusuri jalan setapak. Di kanan ku berdiri dengan megahnya sebuah rumah. Tamannya begitu luas dan aku jamin didalamnya tak kalah luas. Perkomplekan ini mengurutkan rumah dari yang sederhana, minimalis, tingkat menengah lalu yang paling dalam tingkat kalangan atas. Dan rumahku –lebih tepatnya rumah orang tuaku- berada di komplek tingkat menengah. Dan kini aku sedang menyusuri komplek kalangan atas atau bisa disebut rumahnya para konglomerat dari dalam dan luar negeri.
Kembali aku melihat-lihat sekitar, di sisi kiriku berdiri rumah bergaya Victoria dengan taman yang ditengahnya berdiri dengan anggun sebuah patung serta air mancur disekelilingnya. Kombinasi yang indah dan unik.
Mataku menangkap sosok pemuda sedang berjalan menuju pintu rumah tersebut. Ia berjalan begitu santai dan tenang dengan earphone terpasang di telinganya. Bukankah itu pemuda tampan tadi?
~~~
*datang dengan wajah tak berdosa* holla semua, ini cerita udah aku simpan lama di netbook tapi baru pengen postnya sekarang.
Part selanjutnya udah ada tapi aku mau minta 10 vote dulu dari kalian, baru aku lanjut...
dan commentnya juga ya... :* {}
happy reading....
liat Vasha di mulmed, cantik kan?