Tempat berikutnya, Navania’s cafe, tempat yang sering kami kunjungi dulu. Kami langsung mengambil tempat di pojok dekat jendela, meja favorit kami dulu.
Suasana disini tak sama dengan kafe lainnya. Berbagai nuansa tari begitu terasa di kafe ini sehingga hampir sebagian besar yang berkunjung memang pecinta dance dari berbagai genre.
Kenapa aku bisa tau? Tentu saja karena aku pernah melihat mereka saat dulu kami lomba dance di berbagai tempat. Ahh, aku begitu merindukan momen itu.
Sebuah tangan menyentakkanku yang asyik memandang kesekeliling ruangan. Hanya beberapa sudut mengalami perubahan.
“Nate, kamu kenapa?”
Naina memandangku khawatir dan aku hanya tersenyum tipis, “aku hanya merindukan tempat ini.”
Naina mengangguk mengerti lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Nate, “aku juga merindukan tempat ini, apalagi seseorang yang dulu selalu mengajakku kesini.”
Nate hanya tertawa miris. Dia tau ‘seseoramng’ yang Naina maksud. Siapa lagi memang kalau bukan dia?
Bukannya kepedean atau apa, tapi memang nyatanya seperti itu. Setiap pulang sekolah kami akan selalu kesini walau hanya sebentar. Tempat ini seperti rumah ketiga bagi kami.
Sebuah tangan menggenggam tangan Nate erat. Tangan halus berwarna kuning langsat milik Naina dengan jari lentiknya memainkan jari-jari Nate.
Dan gadis itu berkata pelan, “kenapa Nate? Kenapa?”
Nate bingung dengan pertanyaan gadis disampingnya. “apanya yang kenapa?”
Setetes air mengenai lengan Nate dan membuat Nate langsung duduk tegak menghadap Naina, “kamu kenapa nangis?”
Naina menggeleng, “kenapa kita harus pisah Nate? Kenapa kamu nggak mau perjuangin cinta kita? Aku... aku masih cinta sama kamu Nate.”
Nate mengusap wajahnya frustasi, “aku nggak bisa Nai. Aku nggak bisa.”
“Apa karena tunanganmu?”
“Tidak, dia nggak ada hubungannya dengan ini. Kami sama-sama korban dalam hubungan ini. Aku mohon Nai, setelah ini, lakukan permintaanku kemarin. Tersenyum, lupakan aku dan cari cinta yang lain. Aku mohon.”
Air mata Naina semakin deras mengalir. Nate yang peling tidak bisa melihat wanita menangis apalagi Naina, menarik Naina kepelukannya. Nate mengusap rambut Naina pelan lalu mengecup puncak kepalanya.
“Aku... aku akan butuh waktu lama untuk menemukan laki-laki sepertimu Nate. Ahh tidak! Tak ada laki-laki sepertimu didunia ini,”isak Naina dalam pelukanku.
Pesanan kami datang dan pelayan yang begitu mengenal kami mengerutkan kening bingung, “Nate, Naina kenapa?”
Aku hanya tersenyum dan mengisyaratkan padanya untuk pergi. Setelah pelayan itu pergi, aku melepaskan pelukan Naina lalu mengusap air mata di pipinya dengan jariku, “jangan sia-siakan air matamu untukku lagi Nai. Dan berjanjilah padaku ini terakhir kalinya kamu menangis karenaku.”
Naina mengangguk pelan lalu meraih jus strawberry miliknya dan aku pun menyesap mochacinno latte milikku.
“Aku cinta kamu Nate.”
“Sudah cukup Nai.”
“Aku cintaaa banget sama kamu Nate.”
“Nai, jangan buat aku jengkel.”
“Aku sangat cinta padamu Nathanael.”
Aku meraih pinggangnya dan menggelitikinya hingga ia tertawa kegelian minta ampun. Aku senang dia kembali tersenyum.